Senibudayabetawi.com – Muasal rujak juhi khas Betawi tak terlepas dari pengaruh dua kebudayaan besar yaitu Jawa dan Tionghoa. Zeffry Alkatiri, penulis buku Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai mengisahkan rujak juhi sebenarnya berawal dari makanan bernama troktok.
“Dibilang begitu karena penjualnya selalu menggetok potongan bambu sewaktu lewat di depan rumah. Bunyinya troktok,” kata dia.
Dalam Indonesia Kaya, Adapun troktok berasal dari campuran kacang panjang yang dipotong pendek, kentang, juhi, mi, dan kol. Kuahnya berupa cuka dan kacang. “Sekarang model itu berkembang menjadi rujak juhi yang dijajakan dengan gerobak,” terang dia.
Diketahui bahwa orang Betawi telah lama mendiami Jakarta, bahkan selama ratusan tahun sejak bernama Batavia. Selama itu pula mereka berinteraksi dengan suku lainnya seperti Tionghoa, Sunda, dan Jawa.
Interaksi inilah yang telah memperkaya kebudayan Betawi—bahasa, adat istiadat, dan makanan, termasuk rujak juhi atau biasa disebut mi juhi.
Adapun rujak juhi memanfaatkan juhi sebagai bahan utamanya. Bahan yang akrab digunakan orang Tiongkok ini merupakan cumi-cumi yang telah melalui proses fermentasi dan dikeringkan. Orang Tiongkok sangat menyukai bahan juhi ini.
Selain itu, rujak juhi menggunakan bahan-bahan yang sehat serta alami. Bahan seperti kol, kentang, selada, dan timun menjadi bahan pelengkap makanan ini.
Khusus untuk saus rurjak juhi digunakan sebagai penambah cita rasa. Namun, tak seperti rujak pada umumnya, rujak juhi menggunakan saus kacang yang segar. Tidak ketinggalan juga kerupuk mi yang menjadi kudapan pelengkap pada kuliner khas tanah Betawi ini.
Muasal Rujak
Kata rujak muncul dalam Prasasti Paradah dari masa Mataram Kuno berangka 943 M.
Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV menyebut rujak menjadi hidangan dalam upacara penetapan sebuah desa sebagai wilayah bebas pajak.
Istilah “rujak” berasal dari kata angrujak, yaitu memotong sesuatu menjadi bagian kecil-kecil. Semula kata ini umum dipakai dalam penggambaran pertempuran antara karakter antagonis dan protagonis.
Kemudian angrujak masuk dalam konteks pembuatan makanan berbahan buah.
Jiri Jakl, ahli bahasa dari The University of Queensland, Australia, menyebut kata ini tertulis dalam dua kakawin kuno Jawa: Bhomantaka dan Smaaradahana.
Rujak sebagai Pengganti Hidangan Daging
Dalam tesisnya, Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry, Jiri Jakl menyebut hidangan rujak merupakan hidangan pengganti daging.
Pada upacara masyarakat Jawa kuno, terdapat juga makanan berupa potongan daging yang disiram dengan darah. Tapi dalam upacara lainnya, potongan-potongan daging diganti dengan buah dan darah diubah jadi bumbu cabai dan gula merah.
Rujak di Jawa agaknya tersebar lewat perluasan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur. Di bagian barat Jawa, rujak juga menjadi panganan penduduk. Ini terlihat dari tuturan lisan legenda Sangkuriang. Ada sebuah batu di Gunung Kaledong, Jawa Barat, yang dipercaya sebagai alat pembuat rujak.
Orang Sunda dan Jawa turut menjadi salah satu penduduk Batavia. Dari sinilah kemungkinan rujak masuk ke dalam khazanah kuliner orang Betawi.
Rujak Kuliner Favorit Orang Betawi
Abdul Chaer, penulis buku Betawi Tempo Doeloe, mengatakan rujak menjadi salah satu panganan favorit orang Betawi. “Orang Betawi suka sekali makan rujak, apalagi anak-anak dan gadis remaja,” kata Abdul Chaer.
Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat mengatakan rujak dalam kebudayaan Betawi terkait erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh.
Sementara rujak juhi diduga terpengaruh kuliner Tionghoa. “Cina memperkenalkan mie, bihun, dan sohun, serta jenis sayuran seperti toge, kucai, lokio, dan sawi,” terang Ridwan. Kemungkinan orang Tionghoa pula yang mengonsumsi dan memperkenalkan daging cumi-cumi (seafood).
Ramadani Wahyu