Peran olklor Sebagai Internalisasi Nilai Religius Masyarakat Betawi

Peran Folklor Sebagai Internalisasi Nilai Religius Masyarakat Betawi

Senibudayabetawi.com – Karakter masyarakat Betawi yang lekat dengan sikap religius tak ujug-ujug muncul. Akan tetapi tak terlepas dari peran proses penanaman nilai-nilai religius tradisi kebudayaan Betawi , termasuk melalui folklor.

Diketahui bahwa sikap religius masyarakat Betawi juga termanifestasi dalam perilaku masyarakatnya. Dalam Folkor Betawi, Abdul Chaer mengungkap bahwa masyarakat Betawi tempo dulu bahkan rela menunaikan ibadah haji dengan menjual harta benda yang dimilikinya, salah satunya adalah menjual tanah.

Tidak hanya itu, banyak perayaan agama yang menjadi bagian siklus kehidupan budaya masyarakat, seperti budaya nuju bulan hingga cukur rambut, sunatan, hingga perkawinan. Semua bagian siklus ini tak lepas dari unsur nilai religi.

Nilai Religius Masyarakat Betawi Inklusif

Religiositas masyarakat Betawi bukanlah religiositas yang inklusif, tapi membaur dengan berbagai budaya. Misalnya, dalam pernikahan adat Betawi terdapat simbol-simbol Islam toleran menyatu dalam satu acara sakral di pelaminan melalui pakaian adat kedua mempelainya. Pengantin laki-laki menggunakan jubah layaknya suku Arab yang identik dengan Islam diberi nama Dandanan Care Haji.

Sementara pengantin perempuan menggunakan pakaian yang diberi nama Dandanan Care None Penganten Cine yang mencirikan tradisi Cina yang identik dengan agama lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Betawi dengan agama Islam yang diyakininya telah menjadi suku yang unik dengan akulturasi budaya yang dimilikinya.

Menariknya, kemunculan sikap religius ini berdasarkan proses penanaman nilai-nilai religius tradisi kebudayaan suku Betawi, termasuk melalui folklor.

Folklor dapat digunakan sebagai media pendidikan dan pengendalian sosial agar dipatuhi masyarakat. Fungsi penanaman nilai religius dapat dilakukan oleh folklor dalam bentuk cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakatnya.

Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Betawi, sastra lisan mempunyai peran penting, seperti terlihat dari kemunculan puisi dan prosa yang mengandung unsur internalisasi nilai-nilai religi. Misalnya cerita Si Pitung dan Si Jampang. Pangeran Pecah Kulit, Pangeran Sarif (PS), Entong Gendut dari Batuampar (EGDP), dan Kaiin Bapa Kayah (KBK).

Misalnya dalam cerita Si Pitung, praktik beragama muncul melalui tokoh Haji Naipin yang merupakan guru dari si Pitung. Berikut penggalan yang menggambarkan praktik beragama dari tokoh Haji Naipin,

“Haji Naipin mempunyai banyak murid. Mereka taat dan patuh kepada gurunya. Siang malam mereka belajar mengaji, membaca, dan menulis bahasa Arab. Mereka juga menjalankan salat lima waktu. Pada bulan Ramadan mereka menjalankan ibadah puasa.” (SP, hlm. 1)

Dalam kutipan tersebut, menggambarkan aktivitas yang dijalankan oleh Haji Naipin dengan para muridnya dalam menjalankan perintah agama, yaitu salat dan puasa. Aktivitas tersebut merupakan wujud dari praktik beragama.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.