Senibudayabetawi.com – Mengusung tema “Jakarta Kota Global Berjuta Pesona”, Jakarta telah merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 497 pada Sabtu, 22 Juni 2024. Momentum ini diharapkan tak sekadar memastikan menjadi kota global yang inklusif, berkelanjutan dan tangguh. Akan tetapi semakin memperkuat pelestarian berjuta pesona ragam seni budaya yang tak lain seni budaya Betawi.
Budaya Betawi merupakan budaya mestizo atau campuran budaya dari berbagai etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda dan menjadi magnet bagi para pendatang baik dari dalam maupun luar Nusantara. Mengingat wilayah ini tak sekadar menjadi pusat perdagangan tapi berkembang menjadi ‘rumah’ dan ‘magnet’ dari berbagai etnis.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan Jakarta tak pernah kekurangan pesonanya. Sejak tempo dulu dan sampai kapan pun selalu menciptakan dan menjadi pesona. “Lantaran pesonanya itu, Jakarta menjadi magnet dan tumpuan bagi masyarakat nusantara,” ujar dia kepada senibudayabetawi.com.
Bahkan, sambung dia saat transisi status ibu kota justru menjadi momentum untuk menguatkan pesona budaya di dalamnya. “Semakin kuat peran sejarahnya (peran sejarah ini tidak bakalan bisa digantikan sampai kapan pun). Kuat posisi globalnya, kuat posisi budayanya. Itu magnetnya,” ujar dia.
Ia menambahkan bahwa budaya Betawi yang menang dan telah menjadi multi dan global karena memiliki ‘darah’ multikultur dari berbagai ragam etnis.
Sejarah Singkat Hari Jadi DKI Jakarta
Hari Jadi DKI Jakarta setiap 22 Juni tak sekadar menandakan eksistensi Jakarta. Namun, menyimpan sejarah panjang sejarah kota ini, tepatnya pada tahun 1527.
Penetapan tanggal 22 Juni tersebut bukan tanpa sebab. Saat itu, pasukan Demak-Cirebon di bawah kepemimpinan Fatahillah berhasil untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Buah dari kemenangan inilah menjadi momentum penting dalam sejarah Jakarta sebagai Hari Jadi DKI Jakarta.
Pasca penakhlukan tersebut, kemudian Fatahillah turut mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Adapun istilah “jaya” dan “karta” mempunyai makna sebagai kemenangan gemilang. Sejak saat itu pulalah, Jayakarta tumbuh dan berkembang. Awal mulanya sebagai kota pada umumnya lalu berubah menjadi kota Pelabuhan dan perdagangan penting yang menyatukan berbagai etnis di kawasan Asia Tenggara.
Dalam perkembangannya, perjalanan panjang sejarah Jakarta mengalami banyak lika-liku. Tepatnya pada 1619, Belanda mengkolonialisasi Jayakarta hingga akhirnya mengubahnya menjadi Batavia. Adapun nama ini sempat bertahan hingga 350 tahun dan pada akhirnya Indonesia merdeka pada 1945.
Selanjutnya pada tahun 1956 Pemerintah Kota Jakarta menetapkan secara resmi bahwa 22 Juni diperingati sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. Ini berdasarkan sejarah panjang bahwa tanggal tersebut mengacu pada awal mula berdirinya Jayakarta.
Jakarta sebagai Kota yang Kaya Pesona Keragaman Seni dan Budaya
Perjalanan Jakarta bertransformasi dari ibu kota negara menjadi kota global inklusif, berkelanjutan dan tangguh, diharapkan tak menghilangkan eksistensinya sebagai kota dengan berjuta pesona ragam seni budayanya yang tak lain seni budaya Betawi.
Kata Betawi berasal dari kata “Batavia” yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda. Kata Betawi dipakai untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta. Adapun bahasa yang digunakan yaitu bahasa Melayu Kreol.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu yaitu antara tahun 1815-1893. Ini berdasarkan pada studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia yaitu Lance Castle.
Pada zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus yang dibuat berdasarkan pada bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815 terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis tapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus tahun 1893 memperlihatkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya eksis di Jakarta. Misalnya orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon, Banda dan Melayu. Kemungkinan semua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan dalam kesatuan penduduk pribumi di Batavia yang kemudian terserap dalam kelompok etnis Betawi.
Berjuta Pesona Seni Budaya Betawi
Budaya Betawi merupakan budaya mestizo atau campuran budaya dari berbagai etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda dan menjadi magnet bagi para pendatang baik dari dalam maupun luar Nusantara. Mengingat wilayah ini tak sekadar menjadi pusat perdagangan tapi berkembang menjadi ‘rumah’ dari berbagai etnis.
Suku-suku yang mendiami Jakarta seperti Jawa, Sunda, Batak, Bugis hingga Minang. Sementara etnis budaya luar yaitu budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis.
Dalam bidang kesenian, misalnya orang Betawi mempunyai seni Gambang Kromong yang bersumber dari seni musik Tionghoa. Selain itu juga ada rebana yang berakar dari tradisi musik Arab, dan keroncong Tugu yang berlatar belakang Portugis dan Arab.
Ada pula tanjidor yang berlatar belakang Belanda. Kesenian lain yaitu lenong, tonil, tari topeng Betawi, tari silat Betawi, topeng Blantik, hingga Ondel-ondel. Sementara seni suara dan musiknya yaitu Samrah, rebana, gambang kromong, tari Uncul dan tanjidor.
Selanjutnya ada kuliner Betawi, diantaranya kerak telor, soto Betawi, nasi ulam, nasi uduk, dodol Betawi, bir pletok, ketoprak, asinan Betawi, gabus puncung, hingga laksa Betawi. Suku Betawi juga memiliki keragaman budaya dalam bidang batik, pakaian adat Betawi berupa kebaya encim, pakaian pangsi, hingga sadariah.
Momentum HUT ke- 497 pada Sabtu, 22 Juni 2024 yang diikuti dengan peralihan status dari ibu kota negara menjadi kota global yang inklusif, berkelanjutan dan tangguh diharapkan tak menghilangkan pesona seni budaya. Akan tetapi justru memperkuat pelestarian keragaman seni budaya Betawi.
Ramadani Wahyu