Senibudayabetawi.com – Lenong Betawi tak sekadar teater rakyat sebagai pertunjukkan yang bersifat humor di permukaan. Akan tetapi berperan penting sebagai ‘panggung protes’ menyuarakan kritik kehidupan sosial saat ini dibalut humor dikaitkan dengan alur cerita masa lalu.
Kesenian Lenong merupakan salah satu budaya tradisional Betawi yang dipopulerkan sejak awal abad ke-20. Sebagai seni yang lahir dan tumbuh dari rakyat, lenong kerap kali mengisahkan cerita kepahlawanan, cerita kerajaan (bangsawan) hingga cerita masa pemerintahan tanah partikulir yang lekat dengan ungkapan emosi. Lantas mengapa pertunjukkan lenong yang lekat dengan humor justru kerap kali sebagai panggung protes?
Dalam Teater Rakyat sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi (2006), cerita lenong sering kali bersifat melodrama penuh ungkapan emosi. Namun, dalam pertunjukkannya, cerita tersebut dibalut dengan adegan humor yang tak sepenuhnya mengacu pada skenario.
Panggung Protes Kondisi Saat Ini
Para pemain Lenong justru lebih sering mengimprovisasi adegan dan dialognya. Bahkan kerap kali dialog yang muncul tidak mencerminkan cerita yang dilakoninya, tapi lebih banyak kelucuan yang mengundang tawa. Tak sekadar humor, tapi di dalamnya mengandung kritik sosial terhadap kondisi sosial ekonomi yang dikaitkan dengan kondisi saat ini.
Meski cerita dalam lakon yang dipentaskan mengenai masa lalu, tapi humor yang muncul sebagai kritikan sering kali berdasarkan kondisi baik politik, sosial dan ekonomi masa sekarang.
Dalam pementasan cerita Si Pitung misalnya yang biasanya dipentaskan dengan cerita yang dikomparasikan dengan kondisi pemimpin sekarang. Keteguhan hati dan sifat tanpa pamrih dari Si Pitung bisa digunakan sebagai media untuk mengkritik para pejabat orde baru yang suka hidup dengan pamrih dan membudayakan KKN.
Lenong sebagai Teater Rakyat
Keberadaan lenong Betawi sebagai panggung protes yang melontarkan kritik melalui muatan humor. Ini tidak bisa dilepaskan dari posisi lenong Betawi sebagai teater rakyat.
Para pemain lenong yang melontarkan kritik sosialnya merupakan counter culture dari dominasi penguasa. Dalam hal ini, terjadi dikotomi antara kehidupan rakyat pendukung teater rakyat dengan penguasa yang mendominasi segala aspek kehidupan.
Humor diperlukan untuk menampung aspirasi yang tidak resmi yang disuarakan oleh para pelawak atau pemain lenong. Dalam hal ini humor yang muncul bisa berupa sindiran yang memberi kritik atas ketimpangan yang terjadi. Misalnya, sindiran, ejekan, lelucon dan protes yang merupakan ungkapan dari ketertindasan dari kondisi powerlessness satu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Ramadani Wahyu