Senibudayabetawi.com – Perbedaan karakteristik kesenian di Betawi Pinggiran dan Tengah mencerminkan jejak historisnya sendiri. Lenong yang terkenal di Betawi Pinggiran berawal dari sarana kritik masyarakat kelas bawah terhadap penguasa. Berbeda halnya dengan Samrah di Betawi Tengah sebagai sarana hiburan dan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat.
Berdasarkan garis besarnya, wilayah budaya Betawi terbagi menjadi dua bagian yakni Betawi Tengah (kota) dan Betawi Pinggiran. Betawi Tengah meliputi kawasan yang pada zaman akhir Pemerintah kolonial Belanda termasuk wilayah Gemeente Batavia, kecuali beberapa tempat seperti Tanjung Priuk dan sekitarnya. Sementara wilayah-wilayah di luar daerah itu masuk dalam budaya Betawi Pinggiran atau Betawi Ora.
Dalam Mengenal Seni dan Budaya Betawi (2011), Hermansyah M menyebut pembagian dua wilayah tersebut bukan semata karena geografis, tapi berdasarkan ciri-ciri budayanya, termasuk bahasa dan kesenian tradisinya.
Sesuai garis besarnya, dialek Betawi terbagi menjadi dua sub dialek yakni sub dialek Betawi Tengah dan sub dialek Betawi Pinggiran. Di wilayah budaya Betawi Tengah banyak berkembang kesenian bernapaskan Islam dan terpengaruh kesenian Melayu seperti dalam Samrah. Sementara di daerah pinggiran berkembang kesenian tradisi seperti Wayang Topeng, Lenong dan Tanjidor yang sama sekali berbeda karakteristiknya dengan Betawi Tengah.
Timbulnya perbedaan budaya dua wilayah tersebut dipengaruhi berbagai hal, mulai dari perbedaan historis, ekonomi, sosiologis, hingga nilai-nilai religi.
Kesenian Budaya Betawi Tengah
Masyarakat yang tinggal di Betawi Tengah merupakan mereka yang telah menetap di bagian di kota Jakarta dulu dinamakan keresidenan Batavia. Di wilayah ini pula paling banyak mengalami arus urbanisasi sehingga paling tinggi tingkat kawin campurnya. Kondisi ini juga melahirkan budaya-budaya baru seperti halnya Samrah yang terpengaruh dari Arab.
Dalam Samrah Orchestra as The Representation of The Middle Betawi Community, Samrah tidak hanya sebagai sarana hiburan. Namun, juga menjadi semacam tempat berkumpulnya masyarakat. Pasalnya, Orkes Samrah dimainkan saat masyarakat keluar berkumpul seperti saat selesai acara maulid Nabi, atau pernikahan.
Selain itu, isi lagu-lagu Samrah menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari, baik bagaimana seharusnya anak bersikap kepada orang tua, maupun nasihat-nasihat tentang bagaimana menjalankan kehidupan di dunia.
Kesenian Budaya Betawi Pinggiran
Orang Betawi Pinggir lebih superior dalam pendidikan agama. Jika orang Betawi Tengah lebih cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum maka orang Betawi Pinggiran menyekolahkan anaknya ke pesantren.
Namun, dalam bidang kesenian budaya masyarakat Betawi Pinggiran merefleksikan bentuk perlawanan terhadap penindasan. Misalnya, dalam kesenian lenong.
Dalam Julianto Ibrahim, Teater Rakyat sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi (2006) berbagai bentuk perlawanan yang muncul digambarkan dalam alur cerita lenong. Demikian pelampiasan ketertekanan mereka yang diwujudkan dalam bentuk humor dan sindiran kondisi ketimpangan dengan sang penguasa.
Posisi lenong sangat strategis untuk menyuarakan kritik. Pasalnya, lenong sebagai teater ‘rakyat’ kerap kali diasosiasikan sebagai kaum pinggiran yang berlawanan dengan penguasa. Tak ayal di sepanjang lontaran dialog pertunjukan lenong kerap kali bernada ceplas ceplos bernada humor merupakan improvisasi ‘suara’ rakyat yang sesungguhnya.
Cerita lenong seolah mampu mewadahi menyuarakan kritik sebagai bentuk counter culture terhadap dominasi kekuasaan.
Ramadani Wahyu