Senibudayabetawi.com – Nama-nama tempat atau toponimi di Betawi bukanlah sekadar label, melainkan cerminan dari peradaban dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Dari nama kampung, jalan, hingga sungai, semuanya mengandung makna mendalam yang terjalin erat dengan sejarah, budaya, dan lingkungan alam Betawi. Melalui pemahaman toponimi, kita dapat menelusuri jejak peradaban Betawi yang begitu khas dan unik.
Nama-nama tempat ini seringkali merujuk pada ciri khas lingkungan, peristiwa sejarah, atau tokoh masyarakat yang pernah hidup di wilayah tersebut. Dengan mempelajari toponimi, kita dapat lebih memahami kekayaan bahasa dan budaya Betawi. Nah, sobat senibudayabetawi.com, apa itu toponimi?
Secara akar kata, toponimi berasal dari bahasa Yunani: tópos (τόπος) yang berarti tempat dan ónoma (ὄ νομα) yang berarti nama. Penggunaan istilah toponimi merujuk pada kajian nama dan penamaan tempat terkait.
Toponimi menjadi bagian dari budaya sebab merefleksikan makna mendalam dalam sejarah, budaya, dan lingkungan alam Betawi. Bahkan,
United Nations mendirikan United Nations Group of Experts in Geographical Names, salah satu organisasi di Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengurusi nama tempat di seluruh dunia.
Toponimi Vegetasi
Berdasarkan pengamatan nama-nama toponimi atau rupabumi terlihat pada penamaan nama kampung, kelurahan, dan kecamatan yang kebanyakan berupa toponimi vegetasi (berdasarkan nama tumbuhan atau pohon) di sekitar wilayah terkait. Misalnya, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kelurahan Gandaria, Kelurahan Kembangan hingga Kelurahan Kelapa Dua.
Toponimi vegetasi juga nampak pada penamaan Kampung Rawa, yang merupakan kelurahan baru dalam Kecamatan Johar Baru. Awalnya, kawasan ini merupakan sebuah rawa yang berada dekat Tanah Tinggi. Nah, tepatnya awal abad ke-20 berkembang menjadi permukiman penduduk, sehingga dinamakan Kampung Rawa atau disebut Rawa Tinggi, seperti yang tertera pada peta Batavia tahun 1923, peta tahun 1947 dan peta 1959.
Nama Kampung Sawah sangat jelas menunjukkan kondisi alam yang sebagian besarnya adalah rawa. Berdasarkan buku Penulisan Sejarah Kebudayaan Betawi Toponimi Nama Kelurahan di Jakarta, pada abad ke-19, kawasan ini dijadikan sebagai particuliere landerijen atau tanah partikelir. Tuan tanah yang menguasainya adalah Tan Siep Nio. Hasil utama perkebunan swasta ini adalah kelapa dan padi.
Toponimi Sejarah atau Peristiwa
Selain itu, penamaan kampung atau kelurahan di Jakarta tidak hanya terbatas pada nama pohon saja, tapi juga bisa diambil dari sejarah atau peristiwa yang dulu penah terjadi di tempat tersebut. Sebagai contoh, nama Condet. Sebagai kampung tua dan penuh dengan sejarah, nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet.
Ada pula toponimi yang sesuai dengan kontur atau kecenderungan wilayah yang bersangkutan. Contohnya, bisa dikenali berdasarkan penamaan kali, rawa, pulo, poncol, sumur, gunung, kebon, hutan, lubang, ceger, tugu, tanjong, bendungan dan lainnya. Bahkan, ada pula yang toponiminya mengacu pada profesi. Misalnya Kemandoran, Penggilingan, Petukangan, Pejagalan dan Pekayon.
Toponimi berdasarkan peristiwa sejarah misalnya tampak di kawasan seperti Jakarta Utara, yaitu Bangliuw, Batu Tumbuh, Kampung Serani (Tugu), Kampung Akuarium. Lalu ada juga Kalibaru, Koja, Kebantenan, Marunda, Pejongkoran, Sunter, dan Sukapura.
Terakhir ada pula penamaan rupabumi berdasarkan kisah (cerita lisan atau mitos), seperti Ancol, Bintang Mas, Jembatan Buntung, Jembatan Goyang, Keramat Tunggak hingga Kalijodo.
Ramadani Wahyu