Senibudayabetawi.com – Produk budaya Betawi tak hanya terkait kesenian seperti palang pintu, lenong hingga ondel-ondel. Lebih dari itu, produk budaya Betawi mencerminkan kelekatan masyarakat Betawi dengan lingkungan alam di sekitarnya.
Ketua Perkumpulan Betawi Kita Roni Adi menyatakan cara masyarakat Betawi berpikir dan bertindak sudah seharusnya berdasarkan kearifan lokal dan lingkungan. “Kalau lingkungan tidak lestari maka hilanglah memori kearifan budaya lokal kita,” kata dia dalam diskusi publik bertajuk “Pulihkan Jakarta! Lingkungan, Budaya dan Masa Depan Kota” baru-baru ini.
Menurut Roni, banyak tradisi Betawi yang berakar dari interaksi masyarakat dengan sungai. Contohnya, penggunaan seserahan roti buaya dalam palang pintu, yang melambangkan kedekatan orang Betawi dengan sungai.
“Toponimi Betawi juga banyak yang berasal dari nama-nama tumbuhan dan air, seperti Kebon Sirih, Kemanggisan, Pangkal Jati, Rawa Buaya, Rawa Belong, Pulo Gadung, Setu Babakan, dan Setu Gintung,” jelas Roni. “Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan orang Betawi dengan alam.”
Mitos dan Pelestarian Lingkungan
Menariknya, masyarakat Betawi tempo dulu kerap kali mempercayai mitos dan tahayul di sekitar lingkungan. Tempo dulu, wilayah Rawa Belong, Jakarta Barat identik dengan rawa-rawa, berupa daerah dataran rendah yang tergenang air. Banyak orang Betawi yang mempercayai bahwa di rawa-rawa tersebut hiduplah buaya bunting.
“Padahal ini adalah cara orang Betawi tempo dulu untuk menjaga kelestarian alam. Agar tidak ada pembukaan lahan yang caranya dibuat mitos-mitos. Tapi kalau untuk konteks sekarang sepertinya sudah tidak ada yang percaya sehingga kerusakan lingkungan terjadi tanpa rasa khawatir,” ujar dia.
Hilangnya ekosistem sungai juga berdampak pada punahnya berbagai makanan khas Betawi yang berbahan dasar dari alam. Misalnya seperti gabus pucung hingga pindang serani. “Bahan-bahan untuk membuat makanan ini sudah tidak ada lagi,” kata Roni.
Tak hanya itu, tradisi Betawi juga mencerminkan dekatnya masyarakat Betawi dengan alam. Misalnya, sedekah laut di Cilincing, Jakarta Utara yang hingga saat ini masih dilakukan.
Ancaman Pulau Kecil Kepulauan Seribu Tenggelam
Sementara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta Suci Fitria Tanjung mengungkap peradaban Jakarta berawal dari sungai dan laut, termasuk Kepulauan Seribu yang indah.
Namun, pulau-pulau kecil ini kini terancam tenggelam akibat kombinasi antara sampah dan krisis iklim.
Menurut data WALHI, saat ini 23 dari 110 pulau di Kepulauan Seribu sudah dalam kondisi kritis dan terancam tenggelam. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem.
Sampah yang Menumpuk
Salah satu pulau yang paling parah terdampak adalah Pulau Pari. Saat air pasang, sampah-sampah dari Jakarta terbawa arus dan menumpuk di pulau ini. Penduduk Pulau Pari pun kewalahan untuk membersihkannya.
“Sampah ini datang dari hulu, dari Jakarta,” kata seorang warga Pulau Pari. “Kami sudah bingung bagaimana cara membersihkannya. Ada kasur, plastik, dan macam-macam lagi.”
Persoalan sampah bukan satu-satunya ancaman bagi Kepulauan Seribu. Kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim juga menyebabkan abrasi pantai dan banjir rob. Hal ini membuat pulau-pulau di Kepulauan Seribu semakin rentan tenggelam.
Menyadari kondisi yang kritis ini, dibutuhkan tindakan bersama yang sinergis dan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan tokoh-tokoh budaya.
Ramadani Wahyu