Rahasia di Balik Jendela Jejake, Simbol Romantisme Betawi Tempo Dulu

Rahasia di Balik Jendela Jejake, Simbol Romantisme Betawi Tempo Dulu

Senibudayabetawi.com – Jendela, setidaknya bagi masyarakat Betawi lebih dari sekadar lubang udara, tapi menjadi saksi bisu memadu cinta. Di era Betawi tempo dulu, jendela menjadi media utama bagi para jejaka untuk menyampaikan perasaan kepada pujaan hati. Itulah kenapa mereka menyebutnya dengan jendela jejake/ bujang sebagai salah satu ciri khas rumah Betawi.

Ekspresi kasih sayang pada orang Betawi tempo dulu melalui jendela jejake agaknya tak relevan dengan ekspresi romantis masyarakat modern hari-hari ini. Muda mudi berpegangan tangan, berpelukan diartikan sebagai bagian dari bahasa cinta. Orang Betawi tempo dulu? Jejaka harus permisi dan menunjukkan sikap baik pada ayah sang gadis sebelum sekadar berbincang dengan si gadis pujaan.

Sikap ketegasan dari sang ayah pada gadis pujaan jejaka tak lain bagian dari refleksi nilai-nilai Islam yang terinternalisasi pada nilai dan tradisi masyarakat Betawi. Tak heran jika tempo dulu, jejaka hanya mampu berbincang dari luar dengan gadis pujaan yang malu-malu di balik jendela jejake.

Dalam buku Rumah etnik Betawi tulisan Doni Swadarma dan Yunus Aryanto, bahwa penyebutan jendela bujang atau jejake atau jendela intip tak lepas dari fungsinya di masa lampau. Tradisi orang Betawi tempo dulu, seorang jejaka tidak diperkenankan membawa keluar anak gadis pemilik rumah. Jadi si jejaka hanya boleh melihat dan berbicara dengan anak gadis melalui jendela tanpa daun ini.

Etika Bertamu ke Rumah Si Gadis

Adapun etika yang harus dilakukan laki-laki ke rumah sang gadis pujaan yakni akan ngglancong bersama-sama kawannya, berkunjung ke rumah calon istrinya. Hubungan tersebut tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui jendela bujang atau jejake.

Konon, si laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan) sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik jendela. Bagi perempuan juga ada syarat khususnya yakni dilarang duduk di trampa (ambang pintu). Masyarakat Betawi meyakini jika larangan ini dilanggar maka “perawan dilamar urung, laki-laki dipandang orang”, yang artinya perempuan susah ketemu jodoh dan kalau laki-laki bisa disangka berbuat jahat.

Maksudnya, perempuan yang duduk di atas trampa dianggap memamerkan diri dan dipandang tidak pantas. Sementara apabila laki-laki yang melanggar trampa dapat dianggap sebagai orang yang yang bermaksud jahat.

Ada juga istilah ngebruk, yaitu bila laki-laki berani melangkahi trampa rumah (terutama rumah yang ada anak gadisnya) maka perjaka itu diharuskan mengawini gadis yang tinggal di rumah tersebut. Jika tidak mengawini maka akan mendapat nama yang tidak baik dalam masyarakat.

Jendela Bujang dalam Arsitektur Rumah Betawi

Salah satu ciri khas rumah Betawi yakni jendela bujang/jejake yang mempunyai bukaan besar pada bagian dinding. Bahkan kadang tidak berdaun sama sekali sehingga udara terasa segar karena sirkulasinya berjalan baik. Biasanya jendela ini berbahan kayu nangka atau sawo.

Biasanya daun jendelanya juga dilengkapi dengan balustrade atau kisi. Selain agar pandangan mata penghuni kamar bisa terbentang luas ke luar, fungsi lainnya yaitu mencegah orang yang tidak diundang masuk ke dalam.

Penyebutan jendela bujang atau jejake atau jendela intip tak lepas dari fungsinya di masa lampau. Tradisi orang Betawi tempo dulu, seorang jejaka tidak diperkenankan membawa keluar anak gadis pemilik rumah. Jadi si jejaka hanya boleh melihat dan berbicara dengan anak gadis melalui jendela tanpa daun ini.

Tempo dulu, balustrade yang digunakan terbuat dari kayu yang dicat dengan warna kuning dan hijau. Namun, seiring masuknya Belanda ke Batavia maka dikenalkanlah kusen besi.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.