Senibudayabetawi.com – Pasangan Calon Gubernur Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil – Suswono (R1DO) berkomitmen memastikan kesenian budaya Betawi dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali lapisan bawah. Dengan langkah ini, ia ingin menghidupkan kembali semangat inklusivitas yang telah menjadi bagian integral dari akar tumbuhnya budaya Betawi.
Ya, jauh sebelum pesatnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, seni budaya Betawi telah tumbuh subur di tengah kehidupan masyarakat kampung. Dari sanalah, irama gambang kromong, tanjidor yang merdu, tarian topeng yang lincah, dan lawakan lenong yang menggelitik lahir dan berkembang.
Ini sekaligus menjadi cerminan jiwa dan semangat masyarakat Betawi yang khas. Seni budaya Betawi justru tumbuh secara organik dari akar budaya yang kuat di wilayah kampung.
Ridwan Kamil menyatakan bahwa jangan sampai acara kesenian Betawi di Jakartanya hanya dinikmati diselenggarakan, dikonsumsi kaum elit. “Sementara golongan bawah, ploletar, seolah tidak dapat tempat untuk mengekspresikan rasa kemanusiaannya melalui seni,” ujar dia dalam Dialog Publik Seni Bersama Cagub Cawagub Jakarta beberapa waktu lalu.
Anggarkan Rp 200 Juta Per Tahun
Untuk mendorong geliat pertunjukan kesenian, Ridwan Kamil akan menyiapkan anggaran sebesar Rp 200 juta per tahun untuk Rukun Warga (RW). Adapun anggaran tersebut tidak hanya untuk kegiatan kesenian, tapi juga dialokasikan sesuai prioritas kebutuhan tiap wilayah, baik itu masalah sosial ekonomi.
Menurut Ridwan Kamil, gagasan berkeadilan untuk menikmati, terlibat dalam ekosistem seni budaya juga termanivestasi dalam salah satu programnya yakni Car Free Night. Acara yang akan dilaksakan sebulan sekali itu berisi pameran UMKM dan pertunjukan kesenian.
“Ini berlaku untuk semua golongan, termasuk masyarakat di kampung-kampung,” ujar dia.
Program pasangan Calon Gubernur Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil – Suswono (RIDO) tersebut seolah mengembalikan kesenian budaya Betawi ke akarnya di masa lalu. Betawi, dengan keragaman budayanya lahir bukan dari kota global nan modern. Tapi justru dari kampung ke kampung dan mendapat pengaruh dari berbagai budaya.
Secara garis besar berdasarkan ciri kebudayaan, etnik Betawi dibagi mejadi dua, yaitu Betawi Tengah (Betawi Kota) dan Betawi Pinggir.
Betawi Tengah
Betawi Tengah atau Kota merupakan penduduk yang tinggal di bagian kota Jakarta atau tempo dulu dinamakan keresidenan Batavia (Jakarta Pusat – urban).
Dalam artikel jurnal Indahnya Betawi oleh Mita Purbasari, wilayah ini mendapat pengaruh kuat kebudayaan Melayu (Islam). Ini terlihat dari gaya hidup dan budayanya, mulai dari perayaan upacara perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta adat istiadat (mengaji).
Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat juga mengalami tingkat arus urbanisasi dan modernisasi dalam skala paling tinggi. Selain itu, mereka juga mengalami tingkat kawin campuran paling tinggi.
Dalam bidang kesenian, mereka banyak terpengaruh oleh budaya Arab dan Melayu. Mereka biasanya menikmati musik Gambus, Qasidah, orkes Rebana. Pun menggemari cerita bernafaskan Islam seperti cerita Seribu Satu Malam.
Menariknya, mereka juga memiliki dialek yang disebut dialek Betawi Kota, bervokal akhiran ‘e’ pada beberapa kata yang dalam bahasa Indonesia berupa ‘a’ atau ‘ah’, misalnya: ‘kenapa’ menjadi ‘kenape’.
Betawi Pinggir
Biasa disebut dengan Betawi Udik atau Ora. Kelompok ini terdiri atas dua yakni kelompok dari bagian Utara dan Barat Jakarta serta Tangerang, yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Sementara kelompok dari bagian Timur dan Selatan Jakarta, Bekasi, dan Bogor, yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat Sunda.
Umumnya, Betawi Pinggiran berasal dari ekonomi kelas bawah, bertumpu pada bidang pertanian, dan bertaraf pendidikan rendah. Pada perkembangannya, masyarakat Betawi Pinggiran mengalami perubahan pola pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik.
Dalam bidang kesenian, yang dihasilkan adalah Gambang Kromong, Lenong, Wayang Topeng, dan lainnya. Mereka menyenangi cerita seperti Sam Kok dan Tiga Negeri (pengaruh Tionghoa). Dialek Betawi Pinggiran tidak terdapat perubahan vokal a menjadi e, misalnya: “kenapa” menjadi “ngapa”.
Ramadani Wahyu