Senibudayabetawi.com – Buleng, mungkin terdengar asing di tengah campur budaya tradisional modern hari-hari ini. Padahal, tradisi lisan yang populer di masa silam ini mempunyai keunikan tersendiri yang berakar dari budaya Sunda. Yuk kita bahas seperti apa keterkaitan keduanya sobat senibudayabetawi.com.
Jamak diketahui masyarakat budaya Betawi lekat dengan kesenian seperti Ondel-ondel, gambang kromong dan palang pintu. Itu karena keberadaannya yang masih ada daripada eksistensi Buleng dalam panggung budaya di Jakarta.
Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Betawi dalam Tradisi Lisan Buleng, Buleng merupakan sastra lisan masyarakat Betawi yang mengkisahkan kehidupan raja atau tentang kehidupan sehari-hari. Istilah kata buleng dalam masyarakat Betawi mempunyai arti dongeng atau cerita.
Pengaruh Buleng dari Tradisi Sunda
Salah satu ciri khas Buleng yaitu adanya akulturasi antara bahasa Melayu Tinggi dan Sunda. Tradisi Buleng yang dipertunjukan dalam bentuk prosa atau prosa liris ini juga kerap mengisahkan tema cerita-cerita Sunda.
Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Betawi dalam Tradisi Lisan Buleng, pengaruh budaya Sunda terhadap Buleng terlihat dari faktor geografis. Wilayah Jakarta saat ini memang berada dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan Sunda seperti kerajaan Salaka Nagara yang menempati wilayah Jakarta pada 170 sebelum Masehi hingga 363 Masehi.
Selanjutnya diambil alih oleh kerajaan Taruma Negara hingga sekitar tahun 669 Masehi. Namun, pada tahun itu, kerajaan Sunda berhasil merebut wilayah Taruma Negara yang di dalamnya ada wilayah Jakarta.
Setelah itu, masuk kerajaan Sriwijaya dari tanah Melayu untuk menduduki tanah Sunda saat ini hingga sekitar tahun 1288 Masehi. Kemudian menguasai daratan Sunda dalam kurun waktu yang cukup lama, kerajaan Sriwijaya akhirnya takluk kembali oleh kerajaan Sunda yang kemudian berganti nama menjadi kerajaan Pajajaran.
Berdasarkan sejarah kerajaan tersebut, bukanlah hal yang salah apabila pemilik tradisi buleng berpendapat bahwa mereka bernenek moyang etnis Sunda.
Uniknya, dalam kebudayaan Sunda terdapat tradisi lisan yang mirip dengan Buleng, bernama tradisi Dongeng Enteng. Berbeda dengan Buleng, tradisi ini masih eksis di wilayah Sunda. Tradisi Dongeng Enteng ini merupakan bagian dari tradisi pesantren yang ada di bumi parahyangan yang hingga saat ini masih disiarkan di radio-radio lokal, seperti di kawasan Tasikmalaya, Garut, hingga ke Kuningan.
Tahapan Ngebuleng
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra berpendapat bahwa Buleng merupakan tradisi yang biasa diadakan sebelum acara pengajian anak-anak. Seorang ustadz melakukan sebuah pembacaan cerita terlebih dahulu kepada anak-anak sebelum acara pengajian dimulai.
“Dapat dikatakan kalau tradisi Buleng ini merupakan tradisi yang dahulu merupakan lumrah adanya di kalangan masyarakat Betawi. Ini berbeda dengan kondisi fakta yang ada saat ini,” ujar dia.
Adapun saat ngebuleng terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan. Pertama, juru cerita Buleng akan mengawalinya dengan “nyapun” yaitu membacakan semacam mantera yang disebut dengan rajah. Pembacaan rajah ini dilakukan dua kali yaitu di awal dan akhir cerita.
Tujuan pembacaan rajah ini yaitu untuk meminta izin kepada Allah, kepada yang menguasai tempat agar diberikan kelancaran, kemudahan dan tidak ada gangguan yang akan mengganggu kelancaran maksud dari yang punya hajat, juga izin kepada leluhur.
Saat masuk ke dalam cerita maka diawali dengan pengenalan kerajaan yang akan diangkat dalam cerita ini, lalu menyebutkan silsilah raja, terus menyebutkan makna-makna yang terkandung dalam cerita, menyebutkan kerajaan-kerjaan lain yang ada dalam cerita yang akan dibawakan juga menceritakan keadaan dan suasana kerajaan lain.
Selanjutnya, terjadi konflik-konflik dalam cerita dan diakhiri dengan penyampaian pesan moral yang terkandung dalam cerita. Tak lupa bagian akhir cerita ditutup dengan nyapun yaitu pembacaan rajah penutup yang isinya sebagai ucapan terima kasih kepada semua pihak yang berjasa dan melindungi.
Ramadani Wahyu