Senibudayabetawi.com – Dalam masyarakat Betawi, khitan atau sunat dilakukan jika anak laki-laki sudah berani dan meminta disunat. Ini sekaligus petanda bahwa si anak telah baligh. Anak laki-laki Betawi yang telah berusia enam atau tujuh tahun akan merasa malu pada teman-teman sepermainannya jika belum disunat. Tak hanya itu, mereka saling memamerkan uang yang diperoleh dari menjadi pengantin sunat.
Pengantin Sunat Diarak
Dalam Betawi Tempo Doeloe (2005), Abdul Chaer menyatakan acara sunat dalam masyarakat Betawi bisa dilakukan sangat meriah. Sehari sebelum hari pelaksanaan khitanan, jika tak sekadar sederhana maka setelah salat Ashar, anak yang akan disunat didandani seperti pengantin. Masyarakat Betawi biasa menyebutnya dengan pengantin sunat.
Selanjutnya, ia diarak keliling kampung. Sang pengantin sunat ditandu, naik kuda hingga naik delman dengan iringan rebana, kembang kelapa dan ondel-ondel. Tujuan arak-arakan ini tak lain untuk menghibur dan menggembirakan hati pengantin sunat.
Pelaksanaan Sunat
Nah, selanjutnya pada hari pelaksanaan sunat, pagi-pagi setelah salat Subuh, si anak dimandikan dan disuruh berendam ke dalam air dalam beberapa waktu. Tujuan proses ini adalah untuk membuat kulup sang anak melunak atau tak keras saat disunat. Akhirnya setelah mandi, si anak didandani mengenakan baju koko, peci, serta sarung. Dengan rayuan, pihak keluarga menenangkan hati si anak agar tak takut saat disunat nanti.
Tukang sunat alias bengkong datang dan siap dengan tugas. Si anak dibawa ke depan, duduk di pangkuan sang ayah atau kakak dengan kain sarung diangkat dan paha mengakang. Pak Bengkong berusaha menenangkan dan menghibur anak. Secepat kilat, pak Bengkong menggunakan pisau kecil yang tajam dan memotong kulup si anak. Khusus untuk sunat tempo dulu, pemotongan kulup justru tak menggunakan pisau, tapi hanya memakai sembilu.
Saat kulupnya tersayat putus, si anak akan menjerit kesakitan. Namun, perlahan-lahan akan tenang kembali saat Pak Bengkong menyemburkan air putih yang telah didoakan atau dimantrai. Semua para pendatang memuji keberanian si anak sembari memberikan uang. Selanjutnya si anak merapikan sarungnya dan diberikan ganjal berupa sepotong sabut kelapa yang diberi tanduk dari seporong bambu.
Tempo dulu, luka bekas sunatan hanya diberikan kerikan debu berasal dari sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa. Hal ini mempercepat proses penyembuhan. Namun, tentu saat ini hal ini tak berlaku lagi seiring modernitas alat dan teknologi untuk proses sunat.
Ramadani Wahyu