Senibudayabetawi.com – Kebaya encim akulturasi Tionghoa tak lain adalah busana khas ikon Betawi. Kata ‘encim’ merupakan istilah yang berasal dari Hokkien Selatan untuk menyebut ‘bibi’ (istri dari adik ayah).
Ini merupakan istilah baru yang digunakan untuk gaya kebaya tertentu yang dipopulerkan oleh komunitas Peranakan Cina di Indonesia. Kebaya encim akulturasi Tionghoa masih eksis hingga saat ini. Namun, di balik itu bagaimana muasalnya?
Jika kebaya putih tipis yang seluruhnya merupakan hasil dari pembauran, seperti yang dikemukakan Peter Lee (2014) maka kebaya encim akulturasi Tionghoa yang dikenal di Indonesia sepenuhnya merupakan sebuah fenomena yang diciptakan oleh perempuan Peranakan Cina berkolaborasi dengan penjahit mereka.
Awalnya warna kebaya encim ini yaitu putih. Masyarakat Cina asli maupun peranakan memaknai warna putih ini sebagai warna ketiadaan: kematian.
Dari sinilah asal kebaya encim yang sesungguhnya bermula, di mana pada tahun 1930-an sangat marak kebaya encim beraneka ragam. Akan tetapi tak pernah berwarna putih kecuali sesaat setelah kematian kerabat dekat.
Kebaya Encim Awalnya dikenal dengan ‘Kebaya Nyonya’
Awalnya, kebaya encim sedianya dikenal dengan sebutan kebaya nyonya. Julukan ini kali pertama dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Tionghoa Peranakan.
Istilah “Kebaya Encim” digunakan secara umum oleh orang non– Tionghoa untuk menamakan jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan Peranakan Tionghoa.
Tak ayal jika muasal penyebutan “kebaya encim Betawi” karena memiliki kemiripan model dengan kebaya yang dipakai perempuan Peranakan Tionghoa.
Mereka menamakan kebaya ini mengacu jenis sulamannya, yaitu kebaya kerancang dan kebaya bordir. Konon, perempuan peranakan Tionghoa kini telah jarang sekali memakai kebaya jenis ini.
Berbeda halnya dengan kebaya encim masih tetap eksis dan kerap dikenakan oleh masyarakat Betawi dalam berbagai acara resmi. Meski demikian, kebaya encium juga tersebar di berbagai daerah lain seperti Singapura dan Malaysia.
Bermula dari Baju Kurung
Jauh sebelum para nyonya mengenakan kebaya encim, mereka terlebih dahulu mengenakan baju kurung. Jenis pakaian ini dikenakan menemani hari-hari mereka. Akan tetapi karena bentuknya yang panjang membuat pakaian ini kurang nyaman dikenakan. Bahkan banyak pula yang menyamakan baju kurung dengan sarung batik dan bros kerongsang.
Tepatnya sejak tahun 1911 pada runtuhnya kekaisaran Tiongkok, orang-orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Eropa Belanda. Saat itu, para noni Belanda mengadopsi gaya berpakaian keluarga bangsawan yang memakai kebaya. Menariknya, mereka tak mengenakan kebaya para bangsawan yang mewah dari bahan sutra dan beludru. Para noni Belanda lebih memilih bahan katun tipis berpotongan pendek yang diberi renda di sisi pinggirnya.
Bermula dari inspirasi kebaya para noni inilah, para nyonya Tionghoa memodifikasinya dengan memasukkan potongan, bahan, warna serta corak bordir dan aksesoris yang digunakan.
Pada bagian tepi bawah kebaya para noni Belanda potongan kebaya dibuat rata, sedangkan kebaya nyonya Tionghoa dibuat meruncing ke depan. Potongan ini disebut dengan sunday dan dibuat mengikuti lekuk tubuh. Demikian Muasal Sejarah Kebaya Encim Betawi.
Ramadani Wahyu