Senibudayabetawi.com – Tumbuh suburnya sholawat di Betawi seiring dengan pesatnya perkembangan tingkat keislaman di dalamnya. Tradisi pembacaan sholawat di Betawi sesuai dengan kebutuhan dan ragam tradisi sholawat di dalamnya. Misalnya ragam sholawat yang dibaca kaum perempuan atau ibu tentu berbeda dengan yang biasa dibawakan kaum lelaki.
Kaum ibu kerap kali menerjemahkan sholawat itu ke dalam bahasa Indonesia sebagai pantun atau menambahkan dengan pantun-pantun lama maupun pantun yang disesuaikan dengan maksud pembacaan sholawat itu. Sementara sholawat kaum lelaki lebih bervariasi dalam pengutaraan dan pilihan sholawatnya.
Dalam Jakarta Punya Cara, Zeffry Alkatiri, ragam sholawat yang lebih spesifik lagi yakni sholawat untuk kepentingan latihan silat yang kebanyakan dibacakan oleh kaum lelaki. Sementara sholawat yang dugunakan untuk keperluan “nujuh bulanin” biasanya dibacakan kaum ibu.
Ragam Sholawat Berdasarkan Wilayah Betawi
Menariknya, ragam sholawat juga dibedakan berdasarkan wilayah masyarakat Betawi di Jakarta. Diketahui bahwa ada sholawat umum yang memang dikenal di semua wilayah Betawi di Jakarta. Namun, ada juga sholawat khusus yang hanya di beberapa daerah atau dibaca pada situasi tertentu saja.
Pada masyarakat tengah lekat dengan unsur kearaban dan kemelayuan yang kuat sehingga memiliki ragam sholawat yang tak banyak. Sementara masyarakat Betawi perbatasan masih kerap mempertahankan ritual daur hidup mereka dalam menyelenggarakan acara hari-hari besar Islam.
Dalam ritual daur hidup ini, mereka juga kerap melekatkan sholawat di dalamnya. Itu artinya, masyarakat Betawi perbatasan masih memiliki banyak waktu dan kesempatan dalam melestarikan tradisi sholawat.
Menurunnya Pembacaan Tradisi Sholawat
Terdapat berbagai alasan menurunnya pembacaan tradisi bersholawat ini, mulai dari kepindahan warga Betawi dari suatu wilayah yang homogen ke wilayah yang lebih pluralis. Selain itu, generasi baru Betawi juga telah banyak mengenal berbagai jenis hiburan dan secara tak langsung rentan melupakan sholawat.
Berkurangnya kebiasan yang sebelumnya diperlukan untuk membaca sholawat, seperti meramu obat, mengobati orang dan mengarak pengantin sunat.
Pengaruh yang kuat dari ciri masyarakat Betawi yakni keislaman dan budaya Arab yang masuk sejak abad ke-14. Fenomena ini ditandai dengan masih adanya masjid-masjid tua, kemunculan para guru dan mualim, serta kesenian berbau religious seperti rebana, zapin hingga pembacaan sholawat.
Akhirnya, pengaruh agama dan budaya Islam ini merasuk dan menjadi identitas kebudayaan masyarakat Betawi hingga saat ini.
Ramadani Wahyu