Saat Rebana Budrah Memeriahkan Pengajian di Betawi

Saat Rebana Burdah Memeriahkan Pengajian di Betawi

Senibudayabetawi.com – Sobat senibudayabetawi.com, alat musik Betawi yang berkembang saat ini tak lepas dari akulturasi budaya baik di dalam maupun di luar. Ini bisa terlihat dari pengaruh Timur Tengah terhadap alat musik Rebana Burdah.

Rebana Burdah berasal dari Qasidah Burdah yang merupakan lirik-lirik lagu yang berbahasa Arab. Qasidah ini dibawa oleh para pedagang Arab ke Betawi sembari menyebarkan agama Islam.

Dengan perkataan lain, Qasidah Burdah digunakan dalam penyebaran agama Islam oleh para pedagang di masa yang telah lampau.

Dalam buku Seni Budaya Betawi, rebana ini merupakan salah satu jenis alat musik tradisional khas Betawi. Penamaan Rebana Burdah konon karena nama grupnya yakni “Burdah Fiqah Ba’mar yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba’mar.

Versi lain menyebut karena biasa membawakan qaidah (salah satu bentuk puisi Arab) Allwida yang terdapat pada kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana ini hanya bisa ditemukan di wilayah Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Dikembangkan oleh Abdullah Ba’mar, para pemainnya semula berasal dari keluarga Ba’mar, Amzar dan Kathun yang mereka semua adalah imigran Arab asal Mesir.

Awalnya, keberadaan musik Rebana Burdah memicu nuansa pengajian yang lebih terasa meriah dan tak membosankan. Karena dimainkan pada forum pengajian maka lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad.

Muasal Rebana Burdah

Konon, saat agama Islam berkembang di Asia dan mencapai masa keemas an di Iskandaria, di Jazirah Arab hiduplah salah seorang ulama besar yang bernama Syekh Muhammad Al Busiri.

Pada suatu waktu, beliau sedang terserang penyakit lumpuh. Dalam keadaan ini, Syekh Muhammad Al Busiri tak tinggal diam tapi justru mencurahkan kreativitasnya dalam bentuk menulis syair-syair yang diperkirakan bermanfaat bagi umat Islam.

Pada suatu waktu beliau sedang mengarang atau menulis lirik-lirik lagu sebagaimana biasanya, merasa ngantuk dan tak lama kemudian tertidur di tempatnya sembari meletakkan syair-syairnya di dadanya.

Waktu itu, ia bermimpi bersua dengan Nabi Muhammad S.A.W. Sambil mengusapkan tangannya, ia memberi selendang atau selimut (sorbannya) pada Syekh Muhammad Al Busiri.

Saat Syekh Muhammad Al Busiri terbangun, secara spontan langsung ia mencari selendang sembari berseru. “Burdah! Burdah!”

Maksudnya mencari selendang atau sorban yang diberikan padanya oleh Nabi Muhammad S.A.W. Namun, di dalam kenyataannya Burdah itu yaitu syair-syair yang di dekap di dadanya, dan seketika itu, ia sembuh dari kelumpuhannya.

Tak sedikit di antara para ulama waktu itu yang menafsirkan bahwa yang disebut burdah yaitu selendang atau selimut. Selanjutnya syair-syair itu dibukukan untuk disebarluaskan hingga ke Betawi.

Menurut informasi R.H.M Sjafi’I, yang merupakan seorang saudagar Arab yang berdagang ke Indonesia bernama Said Muhammad Ba’mar yang menikah dengan orang Indonesia dan mempunyai putra H. Sjafi’I Amsar yang terus melanjutkan qosidah burdah.

Adapun fungsi qosidah burdah yaitu untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW serta acara tasyakuran perayaan pengantin baru sebagai upacara sakral agar diberkahi oleh Allah SWT, terutama berkah ketenangan dan ketentraman.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.