Senibudayabetawi.com – Kedekatan antara orang Tugu dan orang Betawi terlihat terutama dalam acara-acara sosial. Salah satu tradisinya yaitu mereka saling mengunjungi saat perayaan agama besar, tak terkecuali saat orang Tugu merayakan Natal.
Dalam Nilai Toleransi dan Implementasi antar Umat Beragama di Kampung Tugu, bagi orang Tugu mencampur dan menjadi satu dengan bagian Betawi sudah seperti tulisan Tuhan mereka.
Saat zaman mardijkers, mereka memutuskan untuk lebih menetapkan dan menamai diri mereka menjadi Betawi daripada menjadi bagian Orang Belanda yang pada dasarnya pernah merampas kebebasannya.
Masyarakat Tugu yang mayoritas adalah penganut Kristen Protestan mampu menjalani kehidupan yang damai. Meski, pernah terjadi konflik pada tahun 1945-1948 kesulitan dalam menjalankan praktek agamanya dan sempat diancam akan membakar gereja mereka jika tidak mau memeluk islam.
Nilai Toleransi yang Tinggi dalam Masyarakat Tugu dan Betawi
Namun masyarakat Tugu sama sekali tak terpengaruh dengan konflik yang terjadi di masa lalu. Sebab sekarang masyarakat Tugu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki nilai toleransi yang sangat tinggi dalam menjalani aktivitas keseharian mereka.
Dalam hidup keseharian sosial Orang Tugu mencoba beradaptasi dengan menyesuaikan diri dengan kebiasaan Orang Betawi. Misalnya, dalam segi bahasa dan pakaian diantaranya.
Penggunaan bahasa Betawi yang digunakan Orang Tugu hampir tidak terjadi perbedaan yang cukup besar dari Orang Betawi umumnya. Logat Betawi yang kental dijadikan sebagai bahasa sehari-hari Orang Tugu, seakan mereka sudah meninggalkan bahasa nenek moyang mereka sendiri yaitu Portugis kreol.
Terjadinya kebiasaan Orang Tugu menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa keseharian mereka. Sebab,pewarisan bahasa portugis kreol seakan menurun dari antar generasinya, bahkan sampai saat ini sudah tak terdengar sama sekali.
Ramadani Wahyu