Keakraban Budaya Orang Tugu dan Betawi

Keakraban Budaya Orang Tugu dan Betawi

Senibudayabetawi.com – Sejak awal Belanda di Batavia, orang Tugu sebagai sebuah kelompok minoritas berusaha untuk selalu mempertahankan identitas sebagai keturunan Portugis. Ini terlihat mencolok dari budayanya yang khas. Sehingga eksistensinya cukup mudah dikenali. Nah, bagaimana sih keakraban budaya orang Tugu dan Betawi?

Sejarah mencatat awal kedatangan Orang Portugis dimulai pada tahun 1510-1511 pada saat Alfonso de Albuquerque menaklukkan Goa (1510) dan Malaka (1511). Kedatangan Belanda pada tahun 1959 membuat kekuatan Portugis di Nusantara yang awalnya berkembang melalui kegiatan perdagangan rempah. 

Orang-orang Portugis yang ditaklukkan Belanda di Malaka kemudian dibawa ke Batavia untuk dijadikan tawanan perang. Mereka inilah yang di kemudian hari menjadi nenek moyang Orang Tugu saat ini. 

Sebenarnya para tawanan Portugis ini tidak murni keturunan Portugis, sebab di Malaka mereka telah menjadi etnis campuran, antara orang Portugis dengan orang-orang Coromandel, Benggali, Maluku, dan Goa-India3. Adapun di Batavia, tawanan perang Portugis dari Malaka ini diperlakukan sebagaimana layaknya seorang budak dan pekerja.

Kebudayaan Orang Tugu

Kebudayaan Orang Tugu tercermin pula dari kesenian keroncong yang mereka miliki. Repetoar musik khas Orang Tugu yang lahir dari cavaquinho, sebuah alat musik Portugis berbentuk gitar kecil yang dibawa oleh para keturunan Portugis Goa ke Malaka, Maluku, hingga Batavia.

Selanjutnya di kawasan ini, ada berbagai alat musik khas. Mereka mengenalnya dengan nama prounga dan macina. Ini merupakan ensambel utama pembentuk musik keroncong, di samping biola, cello, gitar, dan biola. Keroncong Tugu bahkan juga diklaim sebagai tempat lahirnya semua genre musik keroncong di Nusantara.

Setidaknya saat ini tercatat telah ada empat grup musik keroncong di Kampung Tugu. Mereka adalah Kerontjong Toegoe, Keroncong Cafrinho Tugu, Keroncong Muda Mudi Cornelis, dan Keroncong D’Mardijkers.Jr sebagai generasi lanjutan dari Orkes Kerontjong Poesaka Moresko Toegoe yang lahir pada tahun 1920.

Pada dasarnya keroncong Tugu memiliki nilai religius yang sifatnya tidak komersil. Ini karena musik ini kerap dimainkan dalam berbagai acara kerohanian. Misalnya grup Muda Mudi Cornelis yang memang memiliki jadwal rutin pada acara kebaktian gereja. Namun lambat laun keroncong Tugu digunakan sebagai mata pencaharian karena adanya para penanggap keroncong.

Secara fisik penampilan anak-anak Tugu di abad ke-18 juga berbeda dari orang Betawi kebanyakan. Mereka berkulit sawo matang, ada juga yang berkulit kuning dengan rambut berwarna coklat (Ganap, 2011:64).

Penampilan mereka yang berbeda dari penduduk asli karena mereka adalah orang-orang campuran yang lahir dari proses kawin mawin atara Orang Tugu asli dengan etnis pendatang. Sehingga di Tugu dibedakan kategori Orang Tugu asli dan Orang Tugu pendatang yang menikah dengan Tugu asli. Nama-nama fam mereka berbeda seperti Orang Tugu asli Hendriks, Michiels, Solomons, Abrahams, Broune, Quiko, Seymons, Cornelis, dan Andries. Adapun fam Tugu pendatang adalah Corua, Sopalehuwakan, Yunus, Formes, Sepang, dan sebagainya.  Keberadaan Orang Tugu pendatang, memang diakui dalam sistem organisasi

Keakraban Orang Tugu dan Betawi

Keakraban antara Orang Tugu dan Orang Betawi tak hanya sebatas dalam berhubungan sosial. Jika orang Tugu meninggal biasanya orang Betawi turut berkunjung ke rumah keluarga untuk mengucapkan belasungkawa. Begitu pula sebaliknya.

Orang Tugu dan Orang Betawi juga biasa saling berkunjung ketika sedang merayakan hari-hari besar keagamaan. Mereka sekadar bersilaturahmi hingga mengantarkan dan mencicipi hidangan khas hari raya. Bahkan sebelum hari raya berlangsung, mereka saling membantu membuat kue-kue natal atau lebaran khas Betawi. Seperti akar kelapa, rengginang, opak, dan dodol. 

Pada penyelenggaraan Festival Kampung Tugu tahun 2008 lalu grup Marawis yang pemusiknya merupakan Orang Betawi pernah diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, khususnya untuk melakukan penyambutan tamu-tamu penting yang hadir ke acara festival. Hal tersebut juga dimaknai bahwa antara Orang Tugu dan Orang Betawi di sekitar Kampung Tugu terlah terjadi hubungan toleransi dan kekerabatan yang terjalin dengan baik sejak dahulu.

Pada dasarnya acara Festival Kampung Tugu bukan merupakan acara keagamaan Orang Kristen Tugu, melainkan pesta budaya, sehingga ketika ditawari untuk ikut berpartisipasi mereka tidak keberatan.   Perbedaan keyakinan antara Orang Tugu Kristen dan Orang Betawi muslim pada dasarnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berinteraksi dan bersosialisasi layaknya hubungan pertetanggaan yang terjalin dengan erat.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.