Senibudayabetawi.com – Tak terasa Ramadan telah sampai pada pertengahan bulan. Momen ini tak sekadar ditunggu-tunggu untuk berburu pahala. Akan tetapi turut dirayakan secara semarak oleh masyarakat Betawi melalui tradisi ketupat qunut.
Biasanya pada malam ke- 15 bulan Ramadan, masyarakat Betawi menyediakan masakan khas berupa ketupat. Tak ayal jika kita menemukan banyak ketupat di masjid-masjid Betawi. Mereka memasak ketupat, sayur labu, dan lauk pendamping yang dihantarkan ke musala atau masjid terdekat. Tradisi di bulan Ramadan ini juga biasa disebut dengan malam ketupat atau malam qunutan.
Versi Lain Malam Kupatan Setelah 17 Ramadan
Versi lain menyebut bahwa tradisi ini dimulai pada malam-malam ganjil setelah 17 Ramadan atau malam likuran. Biasanya tradisi ini dilakukan dengan membawa makanan ketupat secara bergilir ke musala atau masjid. Tepatnya pada malam 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadan. Ini sekaligus untuk menyambut malam lailatul qadar dengan sukacita.
Selain membawa ketupat, biasanya masyarakat Betawi juga membawa sedekah kudapan berupa kue abug. Kue abug merupakan kue yang berasal dari tepung beras dan diisi dengan gula merah dan kelapa.
Adapun makna di balik tradisi ini tak lain yaitu sebagai bentuk rasa syukur umat Islam khususnya Betawi yang berhasil melewati separuh Ramadan. Tradisi ini sekaligus sebagai wujud berbagi dan bersedekah untuk sesama di bulan suci.
Malam qunutan biasanya digelar setelah shalat tarawih serta doa bersama. Adapun doa yang biasa dibacakan ialah Yassin dan Tahlil lalu dilanjutkan dengan menyantap ketupat, lauk beserta sayur labu yang sudah disediakan.
Sejarah Ketupat di Indonesia
Dalam buku Chinese Muslims in 15th and 16th Centuries: Malay Annal of Semarang and Chrebon, H.J. de Graaf menjelaskan ketupat telah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak abad ke 15. Tepatnya bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa oleh Wali Songo.
Diketahui Wali Songo memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Menariknya yakni kecintaan yang dibawa serta dalam ajaran Islam mereka. Lebaran Ketupat merupakan tradisi makan pada perayaan Hari Raya yang dipopulerkan oleh Wali Songo di Pulau Jawa.
Perayaan yang jatuh pada hari ke-tujuh setelah Idul Fitri ini diisi dengan tradisi hantaran atau makan ketupat bersama kerabat. Uniknya, tradisi ini juga menyimbolkan kebersamaan atau keeratan tali silaturahmi.
Menariknya pula, ketupat juga kerap digunakan sebagai makanan tradisi masyarakat Tionghoa, utamanya saat perayaan Cap Go Meh. Ketupat atau lontong Cap Go Meh kerap kali diasosiasikan pula dengan perayaan Imlek dan Cap Go Meh di masyarakat Cina Peranakan kota Semarang, Jawa Tengah.
Diketahui perayaan Cap Go Meh secara harfiah merupakan perayaan pada malam ke-limabelas rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek (Sincia). Istilah Cap Go Meh berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti malam ke-limabelas. Di daratan Cina sendiri, Cap Go Meh adalah puncak perayaan Tahun Baru Imlek. Oleh karena itu perayaannya lebih bersifat sosial dan ‘pesta rakyat’, misalnya dengan berpawai, arak-arakan pertunjukan barongsai di jalan, dan menyalakan lampion sebagai dekorasi kota.
Ramadani Wahyu