Representasi Masyarakat Betawi dalam Lenong Preman

Representasi Masyarakat Betawi dalam Lenong Preman

Senibudayabetawi.com – Jangan dikira bahwa lenong preman artinya lenong yang menceritakan tentang keseharian preman. Lenong preman merupakan representasi dari cerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi. Tema seperti kisah cinta, keseharian keluarga, hingga kriminalitas mampu dikemas menjadi pertunjukkan ringan, lucu sekaligus menghibur.

Setidaknya, lenong Betawi dibedakan menjadi dua macam, yaitu lenong denes dan lenong preman. Jika lenong denes yang merujuk pada dialek Betawi “denes” artinya “dinas” atau resmi yang menceritakan kisah berlatar kerajaan dan bangsawan maka lenong preman kebalikannya.

Dalam Setu Babakan, penyebutan istilah lenong preman karena penggunaan bahasa dan kostum para pemainnya bersifat keseharian. Tak hanya menceritakan kisah keseharian, dalam lenong preman juga membawakan lakon jago. Oleh karena itu, lenong preman juga bisa disebut sebagai lenong jago.

Adapun beberapa judul lenong bertemakan jagoan yaitu Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat Sabeni Jago Tenabang hingga Mirah dari Marunda.

Dalam pertunjukkan lenong preman selalu menggunakan bahasa Betawi sehingga memungkinkan munculnya nuansa akrab antar pemain dan penonton. Nuansa yang santai dan akrab membuat para penonton merasa nyaman untuk berinteraksi langsung dengan para pemain lenong.

Tak hanya itu, bahkan para pemain justru memanfaatkan momen keakraban dengan penonton ini untuk melibatkan penonton secara aktif. Misalnya, para pemain lenong bisa berlari dan berdialog di tengah penonton. Penonton juga bisa digunakan sebagai properti pertunjukkan.

Pada pertunjukkan lenong preman selalu ditampilkan secara tradisional melalui pergantian babak dan ditandai dan ditentukan oleh lagu. Demikian pula pergantian adegan yang ditandai dengan pergantian layar. Contohnya, saat adegan berlangsung di rumah maka layar atau latar belakang panggung  yang berganti menjadi layar lukisan rumah.

Muasal Lenong Preman

Lenong preman tak lepas dari perkembangan lenong di tanah Betawi. Pada awal abad ke-20, seorang saudagar Tionghoa bernama Lien Ong cukup populer karena kerap mengundang para seniman untuk menghibur keluarga dan kerabatnya. Biasanya, dia mengundang gabungan musik, tari dan lawakan. Kemudian pertunjukkan ini dikenal dengan nama “Lenong”.

Seiring waktu, lenong mulai berkembang dan digemari masyarakat Betawi. Lalu para seniman Betawi memodifikasinya dengan memasukkan tema-tema sehari-hari menggunakan bahasa Betawi. Hingga muncullah sebutan Lenong preman yang banyak bercerita tentang jawara Betawi yang melawan penjajah pada tahun 1950-an.

Versi lain menyebut lenong berawal dari obrolan ringan sesama pedagang di pasar sekitar tahun 1920-an. Para pedagang di tanah Betawi saling bercerita tentang karakter para pembeli dari berbagai etnis, termasuk Cina dan Arab.

Dalam nuansa keakraban ini, mereka saling nyambung dan menambahkan berbagai alat musik seadanya berbunyi “nang neng nong” kemudian dikenal lenong,

Dalam dinamikanya, tahun 1940-an, lenong banyak dimanfaatkan sebagai alat perjuangan pada zaman kolonialisme. Para seniman lenong memanfaatkan pertunjukan mereka untuk menyampaikan kritik terhadap penjajah hingga membangkitkan semangat nasionalisme.

Ini terlihat jelas dalam berbagai unsur dalam pertunjukan lenong mulai dari tema cerita, lagu hingga lawakan atau humor yang sebenarnya pembungkus dari kritikan.

Cerita-cerita dalam lenong kerap kali dimodifikasi guna menyelipkan pesan-pesan anti kolonialisme. Misalnya, cerita terkait rakyat jelata yang ditindas oleh tuan tanah yang kejam yang diubah menjadi cerita rakyat melawan penjajah Belanda.

Demikian pula dalam lagu-lagu yang dinyanyikan dalam lenong berisi lirik-lirik yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan menyerukan perlawanan terhadap penjajah.

Menariknya, lawakan atua humor dalam lenong juga digunakan untuk menyindir penjajah dan kebijakan-kebijakan yang kerap kali merugikan masyarakat pribumi. Para seniman lenong menggunakan humor untuk mengkritik penjajah tanpa harus mengungkapkan kemarahan mereka.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.