Senibudayabetawi.com – Skema warna budaya Betawi lekat denggan warna-warna cerah. Kebaya encim warna warni indah nan mencolok menjadi daya tarik tersendiri sebagai budaya Betawi. Nah, sobat senibudayabetawi.com pasti penasaran makna di balik warna-warni kebaya encim Betawi ini!
Warna-warna cerah ini juga dapat ditemui di beberapa upacara adat masyarakat Betawi. Mulai dari rangkaian pernikahan hingga sunatan. Pakaian pengantin dan para pengiringnya sudah dapat dipastikan berwarna terang dan cerah.
Begitu pula baju para penarinya. Tidak ketinggalan jajanan pasar yang tersaji memiliki warna yang memikat dan membangkitkan selera makan. Kembang kelapa berwarna-warni penambah kemeriahan dan semaraknya acara saat itu. Ondel-ondel pun tidak mau ketinggalan dengan penampilannya berpakaian warna cerah dan memikat.
Warna Cerah dalam Lanskap Budaya Betawi HUT Jakarta
Warna-warna cerah juga telah menjadi bagian dari lanskap budaya Betawi. Setiap Hari Ulang Tahun (HUT) DKI Jakarta, warna-warni cerah memeriahkan pesta.
Mulai dari warna jambon (merah muda terang) merupakan warna yang paling banyak dijumpai saat kemeriahan acara masyarakat Betawi. Warna dadu (merah), hijau, kuning, jingga, dan biru juga tak pernah ketinggalan untuk eksis. Demikian pula pakaian adat Betawi yaitu kebaya yang senantiasa dipakai para none Betawi.
Bermakna Suka Cita, Semangat dan Ketegasan Masyarakat Betawi
Warna-warna Betawi banyak dipengaruhi kebudayaan Cina yang menyukai warna merah dan cerah. Demikian pula pada kebaya encim Betawi.
Di balik warna-warna ini tidak hanya menceritakan suasana suka cita tetapi juga semangat dan ketegasan masyarakat Betawi dalam menjalani kehidupan.
Dalam Kebaya Encim Betawi: Ikon Busana Perempuan Betawi, muasal kebaya bermula dari keinginan orang Tionghoa untuk meniru gaya berpakaian orang Eropa.
Orang Tionghoa Meniru Gaya Berpakaian Orang Eropa
Sejak tahun 1911, setelah runtuhnya kekaisaran Tiongkok, orang-orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Eropa, terutama orang Belanda yang saat itu menduduki wilayah nusantara.
Pada masa itu, para noni Belanda mengadopsi gaya berpakaian dari keluarga bangsawan yang memakai kebaya. Namun, kebaya yang dikenakan para noni Belanda lebih sederhana, berbahan katun tipis, berwarna putih, berpotongan pendek, dan hanya diberi renda pada sisi pinggirnya.
Kebaya Belanda kemudian dimodifikasi oleh para nyonya Tionghoa dengan unsur-unsur khas Tionghoa, seperti potongan, bahan, warna, corak bordir, dan aksesoris yang digunakan. Potongan kebaya para noni Belanda dibuat rata, sedangkan kebaya nyonya Tionghoa dibuat meruncing ke depan dan mengikuti lekuk tubuh.
Kebaya Nyonya Tionghoa Berwarna Cerah
Kebaya nyonya Tionghoa menggunakan bahan organdi transparan dan warna-warna cerah seperti hijau tosca, merah jambu, kuning, dan merah. Corak bordir kebaya encim khas Tionghoa meliputi bunga peony, kilin, bambu, serta hewan seperti bangau, phoenix, kupu-kupu, naga, dan serangga.
Sebetulnya, kebaya mereka tidak memiliki nama. Perempuan Peranakan Tionghoa dewasa ini sudah jarang sekali memakai kebaya jenis ini, kecuali perempuan tua yang sejak usia muda sudah memakai apa yang disebut “kebaya encim”. Generasi muda Peranakan Tionghoa telah terpengaruh westernisasi. Dengan demikian, masyarakat Betawilah yang melestarikan jenis kebaya yang dahulu dipakai oleh perempuan Tionghoa.
Ramadani Wahyu