Senibudayabetawi.com – Iduladha menjadi salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Betawi. Ini tak lain karena orang Betawi selalu mempunyai tradisi unik dan menarik yang mengiringi saat perayaan Iduladha. Nah, ada apa saja sih sobat senibudayabetawi.com?
Di hari Lebaran Haji, anggota keluarga Betawi saling berkumpul dan bercengkrama sembari menikmati hidangan spesial.
Dalam Betawi Tempo Doeloe oleh Abdul Chaer, masyarakat Betawi mempunyai kebiasaan memasak pada hari Iduladha. Menu-menunya bahkan spesial, seperti ketupat, opor ayam, semur daging hingga sambal godog.
Untuk sayur laksanya pun tak harus berbahan mi bihun, bisa dikombinasikan dengan berbagai olahan daging saat Iduladha, seperti daging sapi, ayam hingga udang.
Ketupat Menjadi Hidangan Wajib
Masyarakat Betawi menjadikan ketupat sebagai salah satu hidangan wajib dalam banyak acara, termasuk Iduladha. Tekstur ketupat yang lembut menjadi alternatif pengganti nasi dan sangat cocok dinikmati dengan menu opor, semur daging dan sambal godog.
Menariknya, ketupat juga mempunyai makna akhir yang baik yaitu setelah menjalankan puasa arofah warga setempat akan mengawali hari kemenangan dengan memakan ketupat.
Melakukan Puasa
Dalam laman Dinas Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta, perayaan Iduladha didahului dengan pelaksanaan puasa sunah Tarwiyah dan Arofah pada dua hari yaitu 8 dan 10 Dzulhijah. Ini juga yang selanjutnya memunculkan istilah lebaran haji khususnya bagi komunitas masyarakat Betawi di pinggiran Jakarta.
Tak berbeda jauh dengan masyarakat lain, orang Betawi juga menyiapkan hewan kurban yang dibawa ke masjid setelah salat Id untuk disembelih dan dibagi pada masyarakat secara luas.
Saat “Haji Gusuran” Muncul di Betawi
Iduladha kerap kali disebut sebagai Lebaran Haji karena bertepatan dengan waktu pelaksanaan ibadah haji di mekah. Adapun pada waktu ini, Jemaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah yaitu pada 9 Dzulhijah yang merupakan puncak ibadah haji.
Ibadah haji dirayakan dengan dengan sangat khidmat oleh masyarakat Betawi. Mereka bahkan rela mengorbankan materil asal bisa bertekad untuk ke Tanah Suci. Misalnya, kebanyakan mereka menjual tanah dengan harga yang fantastis demi pergi ke Tanah Suci. Seperti halnya pepatah mereka bahwa harta tidak dibawa mati kecuali amal dan kehidupan akherat.
Gelombang budaya haji dalam tradisi Betawi tumbuh seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Betawi. Ini terjadi pada tahun 1960 dan 1970-an, arus transmigrasi masyarakat urban ke Ibu Kota. Pembangunan Jakarta menjadi kota yang lebih maju tak terelakkan.
Nah, orang-orang Betawi yang berniat ke Tanah Suci dengan menjual tanah mereka dengan harga fantastis ini disebut dengan istilah ‘Haji Gusuran’. Adapun istilah untuk hasil penjualan tanah mereka diganti dengan qutum. Qutum seperti halnya dengan tiket pergi haji pada saat itu.
Ramadani Wahyu