Menelisik Akar Budaya dalam Seporsi Gabus Pucung Khas Betawi

Menelisik Akar Budaya dalam Seporsi Gabus Pucung Khas Betawi

Senibudayabetawi.com – Kekayaan kuliner Betawi yang termanifestasi dalam gabus pucung menggambarkan identitas kebudayaan Betawi yang berakar kuat. Tak sekadar kuliner, tapi merupakan artefak budaya yang patut dilestarikan di tengah eksistensinya yang kian langka.

Gabus pucung hadir  lebih  dari  sekadar  hidangan. Namun, dapat mewujudkan narasi budaya, hubungan sosial, dan isyarat simbolis warisan budaya Betawi yang dinamis dan beragam.

Ikan gabus yang diolah melalui proses yang khas. Mulai dari penggorengan ikan, perendaman atau dimasak kembali dalam kuah kental berwarna hitam yang berasal dari buah pucung.

Dalam bahasa Betawi, istilah kluwek—yang merupakan unsur khas dalam masakan rawon disebut dengan pucung. Perbedaan pucung dan rawon yaitu kuahnya yang lebih kental karena keberagaman bumbu dalam penyajian gabus pucung.

Ikan Gabus dari Sisi Historis Betawi

Dari sisi historis, kebergantungan masyarakat Betawi terhadap ikan gabus bermula sejak era kolonial Belanda saat ikan gabus berlimpah baik di sungai, kolam hingga lahan basah di Jakarta. Masyarakat Betawi lebih memilih ikan gabus yang cenderung lebih murah dibandingkan dengan ikan mas dan nila.

Namun, perubahan  lingkungan dan urbanisasi, telah berdampak pada ketersediaan ikan ini. Karena kelangkaannya turut berkontribusi pada semakin memudarnya hidangan tradisional Betawi ini.

Gabus Pucung Simpan Akar Budaya Betawi

Dalam Menjelajahi Warisan Kuliner Betawi: Sekilas Masakan Tradisional Gabus Pucung (2024), gabus pucung  menyimpan akar budaya yang kuat. Ini terlihat dalam upacara mangkeng dan tradisi nyorok. Diketahui upacara mangkeng merupakan ritual penting pra-pernikahan yang di dalamnya memuat seluk beluk budaya tradisi perkawinan Betawi.

Kuliner bercita rasa sedap dalam upacara ini memiliki makna simbolis yang bertujuan   untuk   menanamkan   ketangkasan   ikan gabus kepada pasangan yang akan segera menikah.  Simbolisme  ini  meluas  pada kemampuan  pasangan untuk  menavigasi  dan  mengapresiasi  rejeki dalam perjalanan menciptakan sebuah keluarga.

Kuliner langka ini juga memainkan  peran  penting  dalam tradisi nyorog, keluarga saling bertukar hadiah  untuk  merayakan  masuknya bulan suci Ramadan. Persembahan  kuliner  ini  menjadi  wujud  nyata  niat  baik,  melambangkan  dimulainya  masa refleksi dan hubungan spiritual. 

Tak hanya itu, dalam tradisi Betawi calon  menantu juga harus  nyorog-ing  makanan  gabus pucung kepada calon mertuanya. Ini bertujuan sebagai jembatan budaya, mempererat  tali  kekeluargaan,  dan  mengung-kapkan niat tulus mempelai pria.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.