Senibudayabetawi.com – Meski tidak ada dokumen tertulis, budaya ilmu bela diri pasukan Kerajaan Tarumanegara turut berperan menjadi cikal bakal ilmu bela diri di Jawa bagian barat, termasuk Betawi. Maen pukul Betawi semakin kaya dengan kehadiran berbagai etnis sejak zaman kolonial yang menetap di Batavia.
Seperti dikutip dalam buku karya G.J. Nawi berjudul Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi ,Kalapa—hunian awal masyarakat Betawi telah berfungsi sebagai pelabuhan laut penting masa Kerajaan Tarumanegara. Tidak heran jika wilayah ini senantiasa mendapatkan perlindungan militer Kerajaan Tarumanegara dari ancaman asing.
Saat Kalapa berubah menjadi Jayakarta serta berada di bawah pemerintahan Kesultanan Banten, peranan para praktisi ilmu bela diri sangat besar dalam memperkuat pasukan Pangeran Jayakarta yang terkenal tangguh. Diperkirakan pada tahun 1618 jumlah prajurit Jayakarta sekitar 6.000 hingga 7.000 orang. Pada umumnya seorang praktisi ilmu bela diri yang mumpuni diangkat menjadi senopati, mengetuai beberapa prajurit atau setidaknya sebagai pengawal terdekat raja.
Ketika Jayakarta beralih nama menjadi Batavia dan pusat pemerintahan dipegang oleh kolonial Belanda melalui usaha dagang VOC. Keberadaan pasukan pribumi Nusantara di tubuh VOC ikut andil dalam pembentuk ilmu bela diri di tanah yang kemudian dikenal dengan nama Betawi.
Etnis Lain yang ke Batavia
Bermula dari pasukan berjumlah 30 orang Ambon di tahun 1656, yang diangkut oleh Admiral de Vlaming van Oudschoorn setelah berhasil mengakhiri perang di Kepulauan Ambon yang berkecamuk sejak tahun 1630-an. Pasukan kecil ini dipimpin oleh Condottieri (kepala pasukan) Kapitan Tahalele dari Pulau Luhu.
Di dalam pasukan ini ada Tete Jongker dari Suku Salehua di Tumalehu, Pulau Manipa (Seram Barat) yang penduduknya beragama Islam. Pada tahun 1658 Tete Jongker menggantikan Tahalele sebagai pimpinan. Selanjutnya berangsur-angsur menyusul pasukan pribumi lain dari Makassar, Bugis, dan Bali yang membawa kebudayaan ilmu bela dirinya masing-masing. Ditambah prajurit-prajurit sewaan VOC, seperti orang Moor yang ahli gulat dan pedang, Papanger dan serdadu bayaran dari Jepang.
Pada tahun 1628 dan 1629 saat Mataram Islam gagal melakukan penyerbuan ke Batavia, banyak menyisakan prajurit-prajuritnya di Batavia. Prajurit Mataram yang berasal dari berbagai etnis itu enggan kembali hingga kawin dengan penduduk Batavia (Ommelanden). Tidak sedikit pula dari para mantan prajurit Mataram itu meninggalkan keilmuan silatnya.
Sebagaimana keberadaan etnis-etnis yang mendiami kota Batavia yang terus berevolusi pada waktu itu. Ilmu bela diri yang dibawa juga mengalami proses pencairan identitas. Satu sama lain berevolusi dan berasimilasi membentuk identitas ilmu bela diri baru yang terlepas dari unsur ilmu bela diri aslinya. Ilmu bela diri ini beragam karakter yang seolah mewakili dari tiap etnis dikenal sebagai maen pukulan Betawi.
Ramadani Wahyu