Senibudayabetawi.com – Layaknya rujak pada umumnya, rujak juhi menggunakan bumbu atau saus sebagai penambah cita rasa. Yang membedakannya dari rujak lainnya adalah sausnya yang tidak menggunakan gula jawa dan cabai, melainkan saus kacang yang segar. Tak ketinggalan, kerupuk mie menjadi pelengkap hidangan khas Betawi ini. Rujak juhi menawarkan sensasi gurih perpaduan rasa juhi atau cumi kering dan saus kacang.
Seperti halnya namanya, rujak ini menggunakan juhi, yaitu cumi-cumi yang telah melalui proses fermentasi dan dikeringkan. Nama “juhi” sendiri diberikan oleh orang-orang Tionghoa yang menyukai jenis olahan ini. Dalam Indonesia Kaya, asal-usul rujak juhi erat kaitannya dengan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Tionghoa. Selain itu, rujak juhi menggunakan bahan-bahan segar dan alami sebagai pelengkapnya, seperti kol, kentang, selada, dan timun.
Rujak di Betawi
Orang Sunda dan Jawa turut menjadi bagian dari penduduk Batavia. Dari sinilah kemungkinan rujak masuk ke dalam khazanah kuliner Betawi. Abdul Chaer, penulis buku Betawi Tempo Doeloe, mengatakan bahwa rujak menjadi salah satu panganan favorit orang Betawi. “Orang Betawi sangat menyukai makan rujak, terutama anak-anak dan gadis remaja,” kata Abdul Chaer.
Abdul Chaer juga menjelaskan bahwa orang Betawi umumnya membuat rujak dari berbagai macam buah-buahan. “Bahan rujak yang biasa digunakan adalah mangga muda, jambu air, pepaya mengkal, bengkuang, dan lain sebagainya,” tutur Abdul Chaer.
Dalam kebudayaan Betawi, rujak terkait erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh.
Ridwan Saidi, seorang budayawan Betawi, dalam bukunya Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, menjelaskan bahwa rujak dalam kebudayaan Betawi memiliki hubungan erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh. “Di antara para perempuan biasanya ada rujakan,” kata Ridwan. Rujak tersebut disebut rujak tujuh rupa karena terbuat dari tujuh jenis buah.
Rujak Juhi
Ridwan menduga rujak ini terpengaruh kuliner Tionghoa. Ia menyebut, Cina memperkenalkan mi, bihun, dan sohun, serta jenis sayuran seperti tauge, kucai, lokio, dan sawi.. Kemungkinan, orang Tionghoa pula yang mengonsumsi dan memperkenalkan daging cumi-cumi (seafood).
Zeffry Alkatiri, penulis buku Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai kelahiran tahun 1959, menjelaskan bahwa rujak juhi sebenarnya berasal dari makanan bernama troktok. “Disebut demikian karena penjualnya selalu mengetuk potongan bambu saat lewat di depan rumah. Bunyinya troktok,” kata Zeffry.
Troktok terbuat dari campuran kacang panjang yang dipotong pendek, kentang, juhi, mi, dan kol. Kuahnya terbuat dari cuka dan kacang. Zeffry mengaku sering bertemu penjaja troktok saat kecil. “Sekarang, model itu berkembang menjadi rujak juhi yang dijajakan dengan gerobak,” Zeffry melanjutkan.
Keterangan Zeffry agak berbeda dari R.O. Simatupang, penulis Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja. Dalam bukunya yang terbit pada 1960-an itu, Simatupang telah menulis nama rujak juhi.
“Hidangan Tionghoa yang disukai untuk dinikmati bersama saat nongkrong, dan yang menarik banyak tamu adalah wedang sekoteng khas Tionghoa (dengan isian lengkeng, teratai, dan labu air), rujak juhi, rujak Shanghai, pie-oh (sup kura-kura), nasi tim, bebek tim (sekba), serta bakso sapi,” catat Simatupang. Hal ini sesuai dengan keterangan beberapa penjual rujak juhi di Jakarta yang mengaku telah berjualan sejak tahun 1960-an, seperti Rujak Juhi Haji Misbach di Petojo, Jakarta Pusat.
Ramadani Wahyu