Senibudayabetawi.com – Kesenian Betawi Marawis yang menyambut kedatangan pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal Jakarta Kamis (5/9) sejatinya bukan sekadar musik bernapaskan Islam. Lebih luas yakni memiliki fungsi sosial untuk merekatkan hubungan dan solidaritas antar sesama.
Menyaksikan pertunjukan Marawis merupakan kesenangan tersendiri. Bagaimana tidak, musiknya yang energik dan irama pukulannya mampu membangkitkan semangat baru.
Marawis merupakan sebuah grup, biasanya terdiri dari sekitar sepuluh sampai dua puluh orang. Ketentuan jumlah ini tidak pasti, tapi semakin banyak orang yang terlibat di dalam suatu pertunjukan akan semakin memeriahkan acara tersebut, karena suaranya akan semakin ramai dan semarak.
Masyarakat Betawi biasa menyebut Marawis dengan sebutan gebok (gebok adalah bahasa Betawi artinya pukul) atau tepok. Ini karena Marawis dimainkan dengan pukulan yang keras dan cepat.
Penamaan Marawis diambil dari nama alat musiknya (Marwas). Namun, ada pula yang menyebut kesenian ini dengan hajir Marawis karena hajir juga ada dalam kesenian ini.
Musik Marawis identik dengan alat yang bernama hajir dan marawis. Namun, saat ini terdapat berbagai musik bertambah seperti simbal, gendang batu atau kepra, gendang dumbuk, dan otekan.
Dalam Marawis Penguatan Identitas Islam Masyarakat Betawi, marawis tidak hanya sekadar musik, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang penting dalam masyarakat.
Perkembangan Marawis dalam Dinamika Sosial Masyarakat
Jika tempo dulu, marawis sering digunakan sebagai pengiring kegiatan keagamaan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, marawis juga hadir dalam berbagai acara sosial lainnya, seperti perayaan hari besar, pernikahan, penyambutan tamu, hingga kampanye politik. Hal ini menunjukkan bahwa marawis telah beradaptasi dengan dinamika sosial masyarakat.
Hingga saat ini asal usulnya Marawis masih menjadi perdebatan. Irama dan lagu-lagunyayang bernafaskan Islam cenderung membuat orang untuk mengaitkan kesenian ini dengan negara Arab. Namun, ada pula yang meyakini bahwa ini adalah kesenian asli masyarakat Indonesia, hanya saja menggunakan syair atau lagu-lagu sholawat yang kebanyakan berbahasa Arab.
Berdasarkan hasil penelitian Bouvier (2002: 75-80) memaparkan bahwa alat Marawis dan Hajir merupakan bagian dari Gambus, sedang Gambus sendiri merupakan kesenian khas Timur Tengah. Diketahui bahwa musik dan alat musik Gambus masuk ke daerah-daerah di Indonesia bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah yang bersangkutan, karena itu warna musik Gambus bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab.
Betawi dan Marawis
Masyarakat Betawi tidak dapat dilepaskan dari agama Islam. Mereka terkenal sebagai masyarakat yang masih kental kehidupannya dengan nilai-nilai dan kebudayaan Islam.
Nah, di kalangan orang yang lekat dengan Islam atau orang alim rebana dan samrah menjadi kesenian yang populer. Ini berbeda dengan kalangan orang biasa cenderung menyukai kesenian seperti Cokek, Tanjidor atau tari Topeng.
Kendati demikian Marawis menyebar luas di hampir di semua golongan etnis Betawi, baik itu Betawi Tengah, Ora atau Pesisir. Hal itu bisa dilihat dari penyebaran grup ini.
Ramadani Wahyu
Sumber foto: Screenshoot Youtube Kompas TV “Momen Paus Fransiskus Disambut Marawis saat Tiba di Masjid Istiqlal”