Senibudayabetawi.com – Rumpun tari Cokek khas Betawi telah melahirkan berbagai tarian, termasuk tari Sipatmo yang tumbuh sejak abad ke-17. Tari yang berkembang di Tangerang ini ternyata memiliki makna yang mendalam, yakni keharusan menjaga sembilan lubang dalam tubuh manusia.
Diketahui bahwa dalam masyarakat Betawi, tari dibagi menjadi dua rumpun dengan mempunyai ciri khasnya masing-masing, yaitu tari Topeng dan tari Cokek.
Jika tari topeng khas Betawi maka tari Cokek sedikit banyak mendapat pengaruh dati Tionghoa. Dilihat dari fungsinya, tari cokek fungsi tari dibagi menjadi 3, yaitu fungsi tari Cokek sebagai upacara adat, pertunjukan dan pergaulan. Nah, tari Sipatmo ini termasuk dalam rumpun tari Cokek yang berfungsi sebagai pelengkap upacara adat.
Makna Gerak Tari Sipatmo
Makna gerak pada tari Sipatmo mempunyai arti yang sangat baik untuk kehidupan manusia, yaitu menggambarkan sembilan lubang yang ada di dalam tubuh manusia yang harus dijaga. Adapun 9 lubang yang dimaksud adalah pikiran, hati, mata, hidung, telinga, tangan, mulut, kemaluan dan kaki.
Ini terkait dengan kehidupan kepada Tuhan YME. Agar dalam kehidupan sesuai dengan aturan agama maka tidak boleh berbuat yang dilarang oleh norma dan agama.
Berkembangnya zaman dan perubahan selera seni masyarakat Betawi membuat Tari Sipatmo pada abad ke 21 ini sudah jarang terlihat lagi. Banyaknya tari yang berkembang lebih lincah dan sangat menghibur, sehingga tari Sipatmo akhirnya jarang diminati lagi.
Dalam Penataan Tari Sipatmo Sebagai Upaya Pelestarian Seni Budaya Betawi Oleh Dewan Kesenian Jakarta, meski tari Sipatmo merupakan tari pelengkap upacara tetapi tidak mengandung unsur mistis ritual. Tarian ini sudah ada pada abad ke-17 dan mulai berkembang pada abad ke-18 oleh Memeh Karawang.
Memeh Karawang atau Tan Gwat Nio merupakan seniman Betawi yang karya-karyanya sangat berkontribusi dalam sejarah kebudayaan Betawi khusunya tari yang banyak orang-orang tahu dalam jenis Cokek.
Memeh Karawang sebagai Pengembang Tari Sipatmo
Awalnya, Memeh Karawang merupakan seorang pedagang, seorang diri di Jakarta karena anak dan cucunya tidak tahu ada dimana pasca jajahan Jepang. Karena bangkrut dan beliau bisa hanya menari pada saat itu maka beliau lebih fokus kepada menari.
Abad ke-18 tari Sipatmo sudah mulai banyak yang berminat dan bekembang hingga pada abad ke-19. Ini seiring dengan fungsi tari Sipatmo mulai bergeser dimana yang sebelumnya berfungsi sebagai upacara adat menjadi pertunjukan.
Pasalnya, umumnya seni meliputi pasaran karena masyarakat pada abad ke-19 lebih berminat pada pertunjukan yang lebih menarik atau ekspresi. Tari Sipatmo bergerser fungsi hanya sebagai pertunjukan dimana penonton tidak terlibat langsung pada penari,
Tarian ini mulai berkembang lagi pada tahun 2004 dengan diciptakannya tari Shiu Pat Mo oleh Bang Entong Kisam cucu dari Memeh Karawang. Tari Shiu Pat Mo menggunakan fungsi tari sebagai tari pertunjukan di Bali dalam acara Parade Tari yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan mendapatkan juara umum.
Setelah Memeh Karawang meninggal sekitar tahun 1988 Tari Sipatmo tidak pernah dipertunjukan kembali. Sebab, memang sudah termakan zaman dan pasaran. Selain itu, lebih banyak berminat pada tari cokek yang berfungsi sebagai tari pergaulan.
Ramadani Wahyu