Senibudayabetawi.com – Keberagaman dan kekayaan sumber tanaman pangan lokal Betawi diharapkan dapat menjadi alternatif pangan. Ini menyusul Hari Pangan Sedunia 16 Oktober yang menjadi pengingat potensi sumber pangan tak hanya dimonopoli oleh beras.
Penghargaan terhadap sumber pangan alternatif lokal Betawi dinilai penting di tengah kebergantungan masyarakat terharap beras. Terlebih di tengah kerentanan perubahan iklim dan ketidakpastian harga beras.
Kota Jakarta, dengan akar budaya Betawinya yang kental, menyimpan kekayaan tanaman alternatif sebagai sumber karbohidrat . Tak sekadar bergizi, tanaman-tanaman ini kaya akan nutrisi dan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Misalnya, tanaman jali-jali, ubi jalar, talas hingga singkong.
Tanaman lokal Betawi tersebut telah menjadi bagian dari pangan populer bagi masyarakat Betawi tempo dulu. Mereka biasanya menanam tanaman tersebut di sekitar rumah dan mengolahnya menjadi makanan sehari-hari.
Tanaman Jali
Tanaman jali atau hanjeli (Coix lacrymajobi L.) merupakan tanaman biji-bijian ini berasal dari ordo Glumifora dan famili Poaceae. Biji yang dihasilkan dari tanaman ini banyak dimanfaatkan untuk membuat bubur jali-jali. Biasanya, makanan ini untuk sarapan orang Betawi tempo dulu.
Biji jali yang dihasilkan diolah menjadi bubur yang lezat dan menyehatkan. Tak sekadar mengenyangkan, makanan ini juga bermanfaat untuk mengobati penyakit seperti antitumor dan antikanker.
Adapun cara mengolah biji Jali dengan mencuci bersih terlebih dahulu lalu direndam semalaman untuk mempercepat proses pemasakan. Selanjutnya, biji jali tersebut dimasak ke dalam panci ditambahkan sedikit garam. Tunggu hingga biji jali empuk dan mekar.
Kendati kandungan karbohidrat dalam tanaman jali lebih rendah daripada nasi, tapi kandungan proteinnya justru lebih tinggi. Tak ayal jika jali juga dianggap panganan yang lebih menyehatkan. Namun yang disayangkan pohon tanaman jali sudah sangat jarang ditemukan.
Ubi dan Singkong
Ubi juga kerap digunakan sebagai bahan pangan oleh masyarakat Betawi. Beberapa orang suka merebus ubi dan disajikan saat minum teh di sore hari atau nyahi. Namun ada pula yang mengolahnya menjadi kuliner seperti kolak biji salak khas Betawi hingga kolak ubi.
Demikian pula dengan singkong yang kerap disajikan begitu saja setelah direbus untuk teman ngopi atau ngeteh. Singkong juga sangat nikmat jika digoreng dan disajikan hangat. Baik singkong maupun ubi memiliki kandungan karbohidrat yang tidak jauh berbeda dengan nasi. Akan tetapi kandungan proteinnya cenderung kecil.
Orang Betawi Nyarap
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan masyarakat Betawi memulai pagi dengan nyarap atau sarapan dengan tidak terlalu mementingkan apa menu nyarap, yang penting dapat mengenyangkan dan menambah tenaga untuk melakukan aktivitas mencari rezeki.
“Menu makan pagi dibuat dari berbagai jenis umbi (ubi jalar, singkong), pisang, jagung, terigu, beras dengan cara pengolahan digoreng, direbus, dikukus, atau dikombinasi serta ditumbuk,” ujar dia kepada senibudayabetawi.com, Rabu (16/10).
Biasanya masyarakat Betawi menyajikannya dengan pelengkap lain seperti gula putih/merah, parutan kelapa dan teh pahit/manis, kopi manis atau kopi susu. Jenis makanan lain adalah nasi goreng, nasi uduk semur tahu/tempe/daging, ketan urap, lontong sayur, dan lain-lain.
Tantangan Pengembangan Sumber Pangan Lokal
Namun, mengingat kebiasaan masyarakat Indonesia yang lekat dengan nasi maka peralihan sumber pangan alternatif menghadapi tantangan. “Kalau pribumi mah gak kena nasi, gak makan. Padahal ude ngembat lontong sayur jumbo,” kata dia.
Tantangan lain yakni keterbatasan lahan di Jakarta seiring pesatnya pembangunan sehingga kesempatan mengembangkan sumber pangan alternatif mustahil dilakukan. “Dulu kita pernah mau ganti nasi dengan jagung, singkong, ubi. Tapi kan tanah pertanian habis untuk pembangunan. Pernah juga suweg dan gadung prosesnya lama. Tidak berhasil,” ujar dia.
Ia menyebut pentingnya kesadaran dan komitmen pemerintah untuk mengembangkan sumber alternatif pangan lokal. “Ya kudu siapkan lahan. Jangan sekadar berbicara swasembada tapi impor,” kata dia.
Kendati demikian ia menyebut pentingnya menguatkan sumber pangan lokal alternatif Betawi. “Tanaman pangan lokal Betawi adalah warisan budaya kita. Jika kita tidak menjaga kelestariannya, maka identitas kuliner Betawi akan semakin pudar,” ujar dia.
Ramadani Wahyu