Lebih dari Bela Diri: Maen Pukulan sebagai Jembatan Silaturahmi

Lebih dari Bela Diri: Maen Pukulan sebagai Jembatan Silaturahmi

Senibudayabetawi.com Anak-anak Betawi telah dikenalkan dengan ilmu agama dan bela diri atau maen pukul sejak masih dini. Bahkan, pantang bagi anak laki-laki hanya berada di rumah dan dianggap tidak wajar oleh masyarakat. Mengapa demikian?

Tempo dulu, seorang anak laki-laki Betawi saat menjelang malam “dibuang ngaji” di langgar untuk belajar membaca Al Quran dan maen pukulan. Ya, sudah menjadi kewajiban bagi orang Betawi untuk melestarian eksistensi maen pukulan.

Sekitar 1960-an, hampir di setiap gang anak muda Betawi terlihat merasa memiliki terhadap maen pukulan. Bahkan, mereka tahu betul karakteristik maen pukulan yang menjadi pembeda antara satu dengan yang lain di beda kampung.

Misalnya, Cingkrik sebagai maen pukulan yang khas dimiliki Kampung Rawa Belong. Meski ada sedikit perbedaan gerak, urutan nama jurus, dan istilah para tiap lokasi di Kampung Rawa Belong, tapi tidak mengubah esensi ciri khas dari Cingkring.

Demikian pula silat Beksi pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-18 atau sekitar tahun 1850 dan berkembang di Kampung Dadap, Kosambi, Tangerang. Dalam perkembangannya aliran silat ini menyebar ke daerah Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, dan daerah Batujaya, Batuceper, Tangerang.

Maen Pukulan Layaknya “Jajanan Pasar” di Betawi

Uniknya, sebagai kampung di Betawi menyebut maen pukulan dengan nama “jajanan pasar”. Ini merujuk pada sesuatu yang bersifat umum dan marak ada di berbagai wilayah kampung Betawi. Ada pula yang memakai istilah kamprah. Ibaratnya jajanan pasar, maen pukulan di tanah Betawi berkembang pesat sehingga melahirkan berbagai macam aliran.

Baik maen pukulan Cingkrik, Beksi dan aliran lain yang berkembang di Betawi selalu tak bisa terlepas dengan nilai religi. Dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, G.J Nawi menyebut kebiasaan membaca Al Quran dan maen pukulan membentuk masyarakat Betawi sebagai suku bangsa yang sadar pentingnya menjaga keseimbangan fisik dan mental serta membangun hubungan horisontal dan vertikal.

Maen pukulan, sambung dia sejatinya merupakan personifikasi dari silaturahmi antarsesama. Sementara shalat dan membaca Al Quran merupakan ungkapan sederhana masyarakat Betawi dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta.

Demikian pula dalam keseharian lelaki Betawi merepresentasikan kebiasaan tersebut dengan berbaju tikim, celana pangsi, peci dan sarung yang disampirkan di pundak sebagai simbol shalat dan silat.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.