Senibudayabetawi.com – Terdapat fakta menarik terkait dengan eksistensi suku Betawi. Tepatnya pada tahun 1815 saat dilakukan sensus kali pertama di Batavia.
Sebelumnya, saat masa kekuasaan Belanda, tidak ada catatan soal keberadaan suku Betawi sebagai etnis yang tinggal di kota Batavia. Pada sensus berikutnya pada 1893, sebagian suku pribumi di Batavia hilang atau dihilangkan hingga muncul istilah inlander atau suku pribumi, cikal bakal suku Betawi di kemudian hari.
Kali pertama Betawi dianggap sebagai suku etnis yaitu pada tahun 1930 saat dilakukan sensus kembali. Nah, berdasarkan sensus waktu itu, suku Betawi yaitu sebanyak 778.955 orang dan mendiami Batavia.
Sebutan suku, orang, kaum Betawi, muncul seiring berdirinya perkumpulan “Kaum Betawi” oleh Mohammad Husni Tamrin pada tahun 1918. Meski saat itu “penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi Kota Batavia disebut “negeri” Betawi, sebagai kategori “suku” dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930.
Asal mula Betawi juga berakar dari berbagai pendapat. Ada bahwa Betawi berasal dari kesalahan penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Dalam laman Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, versi lain yakni terkait dengan penyerangan tentara Belanda di Batavia pada tentara Mataram.
Saat tentara Belanda kekurangan peluru, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram hingga tersebar bau tidak enak. Tentara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Suku Betawi
Dalam buku Jaarboek van Batavia (Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas.
Sementara Ridwan Saidi berpendapat suku Betawi muncul terkait erat dengan penemuan kapak batu di hampir semua wilayah yang dihuni etnis Betawi, seperti Sunter, Cilincing, Rawa Belong, Tanah Abang, Kebon Sirih, hingga ke Serpong Tangerang.
Temuan itu sekaligus membuktikan bahwa sejak 3000 hingga 4000 tahun lalu tingkat penyebaran penduduk di Kalapa – kerajaan Sunda telah ada jauh sebelum kedatangan Portugis. Penduduk ini, kata Ridwan Saidi disebut dengan penduduk proto – Betawi atau Betawi tua.
Kota Jakarta Lekat dengan Pesisir
Dalam Etnik Betawi (2013), sejak awal kota Jakarta terbentuk, lekat dengan daerah pesisir, tepatnya di muara Sungai Ciliwung. Selanjutnya berkembang mengikuti pergerakan penduduk dari pesisir ke tengah. Sejatinya hampir susah untuk membedakan kebudayaan dari penduduk pesisir dan penduduk tengah kecuali dari karakteristik mata pencahariannya.
Penduduk kawasan pesisir hidup dari berdagang dan menangkap ikan atau sebagai nelayan, sedangkan penduduk daerah tengah kota hingga selatan hidup dengan bertani.
Dalam segi kebudayaan, penduduk kawasan pinggiran berelasi kuat dengan kebudayaan daerah Pajajaran di Bogor. Ini berbeda dengan orientasi kebudayaan penduduk pesisir dan tengah yang cenderung terbuka. Diketahui masyarakat pesisir dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan internasional sekaligus pusat keragaman suku budaya dari berbagai negara.
Kebudayaan Betawi Pesisir dan Pinggiran
Itulah yang menjadikan pengaruh kebudayaan pada penduduk pesisir dan tengah cukup lekat, utamanya dengan budaya Melayu. Sementara pada masyarakat pinggiran dan udik lekat dengan pengaruh kebudayaan Sunda. Kendati demikian, keempat subwilayah budaya Betawi ini menggunakan bahasa yang sama yakni bahasa Melayu.
Muasal persebaran bahasa Melayu ke wilayah pinggiran dan udik karena adanya Sungai Ciliwung sebagai salah satu sentra transportasi di masa itu. Ini sekaligus membuat daerah pinggiran dan udik menjadi buffer zone untuk keperluan daerah pesisir dan tengah. Dengan adanya Sungai Ciliwung ini empat subwilayah Betawi dapat terhubung.
Nah, lantas kenapa penduduk Betawi pinggiran dan udik lebih terpengaruh bahasa Melayu daripada bahasa Sunda mengingat kawasan ini secara budaya lebih lekat dengan budaya Sunda? Karena secara ekonomi penduduknya lebih banyak berurusan dengan orang-orang di ilir. Peran kerajaan Sunda Pajajaran hanya sebatas pemungut bea dan tidak berpengaruh langsung dengan penyebaran budaya Sunda itu sendiri.
Ramadani Wahyu