Pantun Betawi: Dari Hiburan hingga sebagai Diplomasi Budaya

Pantun Betawi: Dari Hiburan hingga sebagai Diplomasi Budaya

Senibudayabetawi.com Pantun Betawi merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang lekat dengan nilai filosofi mendalam. Di balik pantun Betawi yang terkesan spontan, jenaka dan blak-blakan, pantun tumbuh tidak sekadar sebagai hiburan. Tapi memuat nasihat, adab, kritik sosial bahkan sebagai alat diplomasi yang efektif dan sopan.

Penyebaran pantun terutama di wilayah Nusantara secara luas sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca. Hal ini berdampak pada munculnya pantun dengan karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan kultur persebarannya. Misalnya, pantun Betawi dan Sunda yang memiliki perbedaan baik dari segi bahasa, tema yang diangkat, hingga akar sejarah pantun di wilayah masing-masing.

Dalam jurnal Keanekaragaman Pantun di Indonesia oleh Dinni Eka Maulina, pantun bahkan mampu merepresentasikan kultur tempatnya. Tak berlebihan bahwa mempelajari pantun juga sebagai pintu masuk untuk memahami kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Eksistensi Pantun Betawi

Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur.

Adapun wilayah yang lekat dengan pantun Betawi yaitu kawasan yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu meliputi daerah pesisir utara (Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok), Jakarta Pusat (Tanah Abang, Glodok, Senen), Jakarta Selatan (Condet, Cipete, Pasar Minggu, Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa).

Ciri khas menonjol dalam pantun Betawi yaitu kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran bahkan terlihat spontan membangun kesamaan bunyi a-b-a-b. Pada bagian sampiran khususnya, seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban.

Menariknya, pantun Betawi tempo dulu kerap dijadikan sebagai hiburan di sela-sela pertunjukan seni budaya Betawi. Misalnya pada seni tradisional lenong dan tanjidor. Pantun yang jenaka, spontan ini paling ditunggu-tunggu oleh penonton karena mengundang tawa.

Tak hanya itu, pantun yang lekat dalam kesenian gambang rancag. Gambang rancag berupa pantun berkait yang dinyanyikan dalam bentuk teater diikuti akting menggunakan iringan orkes gambang kromong. Seni budaya Betawi ini umumnya membawakan lakon jago, seperti: Si Pitung, Si Jampang, hingga Si Angkri.

Pantun sebagai alat diplomasi terlihat dalam seni tradisi palang pintu yang biasanya di bawakan oleh juru pantun dari kedua mempelai sebelum acara akad nikah dilaksanakan. Tradisi palang pintu merupakan perpaduan seni bela diri dan berbalas pantun dalam rangkaian pernikahan masyarakat Betawi.

Pantun sebagai Diplomasi Budaya

Dalam palang pintu, pantun terdiri atas pantun pembuka, pantun isi dan penutup. Pantun boleh dibilang sebagai media komunikasi sopan dan halus serta menghindari kemungkinan penggunaan kata kasar. Ini bertujuan untuk menjaga suasana hormat, sakral, dan tetap menghibur.

Fleksibilitas dengan tetap bernuansa spontan tapi santun dari pantun Betawi ini yang kemudian merambah peran pantun sebagai komunikasi strategis. Pantun kerap kali digunakan sebagai pembuka acara, penyambutan serta pidato tokoh-tokoh masyarakat yang menarik.

Komunikasi strategis menggunakan pantun mampu menciptakan suasana santai sehingga memudahkan komunikasi dan menjaga keakraban. Bahkan, pantun Betawi menjadi simbol keramahan dan kebijaksanaan masyarakat Betawi.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.