Senibudayabetawi.com – Mengusung tema “Guru Hebat Indonesia Kuat”, peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November menjadi momentum penghargaan terhadap jasa guru. Bagi masyarakat Betawi sendiri penghormatan terhadap guru begitu mendalam, tertanam kuat dalam akar budaya yang menjunjung tinggi adab dan ilmu. Figur guru, baik guru agama, guru silat, maupun guru di sekolah, memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat Betawi.
“Izin bang guru” ujar seorang murid maen pukulan kepada ketua suatu perguruan silat Betawi yang menawarkan kursi. Sang ketua segera mengiyakan tawaran si murid yang tergopoh-gopoh memberikan kursi untuk duduk sang guru.
‘Guru’ dalam konteks ini bukanlah pengajar secara formal yang berada dalam suatu kelas. Namun, lebih kepada guru silat yang ‘menggugu’ dan meniru apa yang diajarkan oleh guru silatnya.
Demikian sang guru mengajarkan adab dan tata krama pada murid-muridnya. Inilah mengapa sang murid tidak sekadar mendapatkan ilmu silat atau maen pukul, tapi juga adab sopan santun.
Sejarahwan Islam Betawi, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Murodi Al-Batawi menyatakan kalangan komunitas Betawi memiliki berbagai macam penyebutan untuk orang berilmu (‘Alim). Mulai dari ‘Mu’allim’, ‘Syeikh’, ‘Tuan Guru’, ‘Guru’, hingga ‘Ustadz’.
Menelusuri Pemaknaan Guru dalam Masyarakat Betawi
Adapun khusus untuk gelar ‘Mu’allim’ merupakan gelar yang diberikan pada level pemula atau seseorang yang belum memiliki banyak ilmu dan murid. Sementara penyebutan ‘Ustadz’ merujuk pada seorang pengajar ilmu agama Islam.
Nomenklatur penyebutan ‘Tuan Guru’ atau ‘Guru’ diadopsi dari penyebutan daerah Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Konon, mereka sebagai penyebar dan pengajar ilmu agama Islam yang datang dan menetap hingga menikah dengan perempuan Betawi.
Bermula dari pernikahan ini pula, anak cucu keturunan mereka menyebar ke berbagai wilayah di Betawi. Seiring berjalannya waktu, mereka tak hanya menyebarkan agama Islam, tapi juga menjadi guru silat.
Pengalaman menjadi jawara kampung dan proses pengadopsian dengan berbagai jenis maen pukulan menjadikan mereka semakin mahir dalam ilmu bela diri. Kemudian, jadilah sebagai seorang guru agama dan juga guru silat.
Makna Guru sebagai Status Keulamaan Betawi
Sementara menukil buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 (2011), ‘Guru’ mengacu status keulamaan Betawi.
Penyebutan ‘Guru’ merupakan level tertinggi setelah ‘Mu’allim’ dan ‘Ustadz’.‘Guru’ merupakan penamaan ulama yang setara dengan Syaikhul Masyayikh. Mereka dianggap representatif mengeluarkan fatwa agama dalam spesialisasi bidang keilmuan yang dikuasai.
Abdul Aziz, dalam Islam dan Masyarakat Betawi , (2002) menyebut terdapat enam guru dari para ulama Betawi akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20. Mereka adalah Guru Mansur (Jembatan Lima), Guru Marzuki (Cipinang Muara), Guru Mahmud Ramli (Menteng), Guru Madjid (Pekojan), serta Guru Mughni (Kuningan).
Ramadani Wahyu