Senibudayabetawi.com – Gabus Pucung, yang tertanam kuat dalam budaya Betawi, tak sekadar lauk pauk. Tetapi memiliki beragam makna tradisi budaya seperti dalam upacara Mangkeng dan Nyorog.
Kuliner berkuah hitam ini sekilas mirip dengan rawon. Dalam Gabus Pucung Jakarta pada 2023, keberadaan gabus pucung telah hadir sejak 1847, tepatnya pada masa kolonial Belanda.
Sesuai namanya, ikan gabus menjadi bahan utama yang wajib ada dalam kuliner Betawi ini. Rasa gurih dari ikan gabus seolah memang tak bisa digantikan dengan ikan manapun.
Karena keterbatasan ekonomi, masyarakat Betawi tidak mampu untuk membeli ikan budi daya yang mahal seperti ikan mas, mujaer. Untuk menyiasatinya, orang Betawi memanfaatkan ikan gabus yang mudah didapat di sekitar. Adapun tempo dulu kondisi sekitar Betawi penuh dengan rawa-rawa tempat ikan gabus berada. Itulah kenapa ikan gabus menjadi bahan utama dalam kuliner ini.
Di sisi lain, masyarakat juga memanfaatkan buah pohon pucung atau kluwek yang tumbuh di pinggiran pekarangan atau di pinggiran Sungai Ciliwung. Pucung digunakan sebagai bumbu utama yang memberikan warna hitam pada kuah dan rasa khas pada masakan ini.
Gabus Pucung dalam Upacara Mangkeng
Selain perannya sebagai kuliner yang nikmat, Gabus Pucung juga menjadi unsur penting dalam Upacara Mangkeng, yaitu sebuah ritual penting pra-pernikahan yang menggaris-bawahi seluk-beluk budaya tradisi perkawinan Betawi.
Gabus Pucung dalam upacara ini memiliki makna simbolis yang bertujuan untuk menanamkan ketangkasan ikan gabus kepada pasangan yang akan segera menikah. Simbolisme ini meluas ke kemam-puan mereka menavigasi dan mengapresiasi nuansa rezeki saat mereka memulai perjala-nan menciptakan sebuah keluarga.
Eksplorasi lebih lanjut terhadap kedalaman budaya di sekitar Gabus Pucung mengungkap hubungannya dengan adat Nyorog sehingga menambah lapisan lain pada makna budayanya. Peran gabus pucung dalam tradisi nyorog, misalnya keluarga saling bertukar hadiah untuk merayakan dimulainya bulan Ramadan. Persembahan kuliner ini menjadi wujud nyata niat baik, melambangkan dimulainya masa refleksi dan hubungan spiritual.
Sementara itu, dalam konteks pernikahan Betawi, terlihat fungsi gabus pucung sebagai bahan untuk nyorog dari calon menantu kepada calon mertuanya. Ini merupakan bentuk jembatan budaya, mempererat tali kekeluargaan, dan mengungkapkan niat tulus mempelai pria.
Gabus pucung tak sekadar menampilkan kekayaan warisan kuliner Betawi, tetapi juga mengedepankan aspek komunal dan relasional yang terjalin dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Gabus pucung dapat mewujudkan narasi budaya, hubun-gan sosial, dan isyarat simbolis warisan budaya Betawi yang dinamis dan beragam.
Ramadani Wahyu