Senibudayabetawi.com – Peringatan Hari Monyet Sedunia pada 14 Desember menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan primata khususnya hubungannya dalam khazanah budaya Betawi. Cerita rakyat seperti Ki Alang Monyet dan Kampung Jaga Monyet menjadi bukti betapa eratnya hubungan manusia dengan primata ini dalam cerita rakyat dan toponim Betawi.
Satu di antara warisan budaya Betawi yang menarik untuk ditelusuri lebih dalam yaitu cerita rakyat. Ya, boleh dibilang Betawi kaya akan beragam cerita rakyat dengan tema yang menarik. Misalnya cerita Ki Alang Monyet yang diadaptasi dari naskah Hikayat Lima Tumenggung.
Dikisahkan ada seorang ulama terkemuka di Kerajaan Jayakarta Ki Alang, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Jayakarta yang dilecehkan oleh Raja Jayakarta menggunakan monyet miliknya.
Adapun Ki Alang dipanggil menghadap raja dan diperintahkan mengajar monyet sang raja mengaji kitab agama. Namun, Ki Alang meminta waktu sebanyak 70 hari.
Akhirnya monyet sang Raja dibawa pulang Ki Alang dan dibiarkan berpuasa. Ki Alang mulai mengajarkannya mengaji dengan cara yang unik. Sang monyet dilatih untuk membuka kitab sembari membaca lalu diberi beberapa butir nasi setiap ia selesai berkomat kamit lembar demi lembar kitab. Kegiatan itu berlangsung rutin.
Saat Ki Alang menghadap pada Raja Jayakarta, sang raja terkejut melihat monyetnya membuka lembar demi lembar kitab. Tantangan sang Raja tidak sampai di situ. Ia meminta monyet mampu lantang mengaji dengan benar. Tapi Ki Alang berkata, “Saya akan melatihnya, tetapi beri waktu 70 tahun.”
Alhasil, sang Raja justru yang merasa malu karena perintahnya itu tidak masuk akal. Ia telah merasa pongah dan menyalahgunakan kewenangan meminta sesuatu di luar kepatutan.
Dalam masyarakat Betawi, kisah Ki Alang menjadi medium untuk menyadarkan bahwa monyet bagaimanapun tidak sepatutnya dieksploitasi hingga disamakan dengan manusia. Akan tetapi yang lebih penting yaitu justru harus dilestarikan layaknya primata.
Legenda Jaga Monyet
Eksistensi monyet saat hutan masih subur di Batavia menjadi legenda tersendiri. Bahkan, ini menjadi toponim bernama Kampung Jaga Monyet. Kampung ini pernah ada di daerah Petojo, Jakarta Pusat, tak jauh dari Harmoni, kini juga sudah raib dari peta Jakarta.
Muasal nama tempat Kampung Jaga Monyet muncul pada zaman VOC, antara abad ke-17 dan 18 Masehi. Saat itu, terdapat benteng yang dibangun Belanda dengan tujuan untuk menangkal serangan pasukan Kesultanan Banten dari arah Grogol dan Tangerang.
Konon, jika tak ada serangan musuh maka para serdadu menganggur. Kesempatan ini justru digunakan untuk mengawasi kawanan monyet yang banyak berkeliaran di dalam benteng karena lekat dengan hutan belantara. Bermula dari situlah nama Kampung Jaga Monyet kemudian muncul.
Ramadani Wahyu