Senibudayabetawi.com – Masyarakat Betawi tempo dulu memegang komitmen terhadap keinginan atau pengharapan. Bahkan, mereka rela melakukan melakukan nazar, ngucap atau dalam istilah orang Betawi pinggir yaitu kaulan. Alih-alih mengingkarinya, mereka bahkan mempercayai bahwa jika kaulan tak terlaksana maka berakibat buruk bagi si empunya hajat.
Nazar atau kaulan merupakan semacam janji yang diniatkan dan dimantapkan dalam hati seseorang dan bisa didengar oleh orang lain. Masyarakat Betawi meyakini bahwa ikrar ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup si empunya hajat.
Misalnya, seorang kepala keluarga mengucap nazar atau kaulan jija anaknya sembuh dari sakit akan menanggap lenong atau wayang kulit Betawi. Janji ini harus ditepati saat anaknya sembuh dari sakit. Jika tidak maka berpotensi bala atau akibat buruk.
Masyarakat Betawi Berhati-hati Mengucap Kaulan
Tak ayal jika masyarakat Betawi sangat berhati-hati dalam mengucapkan kaulan. Bahkan meski kaulan diujarkan tak sadar maka harus tetap ikrar tersebut harus dilakukan.
Uniknya, jika memang ikrar yang diucapkan oleh masyarakat Betawi berbagai macam, bergantung tradisi di daerahnya masing-masing. Misalnya, masyarakat Betawi pinggir yang lekat dengan seni tradisional seperti lenong dan tanjidor.
Sementara masyarakat Betawi tengah lekat dengan seni tradisi yang bernuansa Islami. Tak ayal jika setelah hajat terpenuhi maka mereka menanggap marawis, hingga membaca Hikayat Syekh Saman. Bahkan terkadang mereka juga membaca Hikayat Abdul Kadir Jaelani.
Kendati demikian, dalam pelaksanaan acara nazar tak bergantung dengan batasan waktu dan tempat. Artinya dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan kesiapan baik materi dan waktu si empunya hajat.
Dalam Lembaga Kebudayaan Betawi menyebut bahwa nazar atau kaulan harus ditepati sebab merupakan hutang dan perjanjian dengan Allah. Konsep ini sangat lekat yang memang notabene masyarakat Betawi kental dengan syariat Islam. Bahkan hingga mati kalau perlu hutang harus dibayar meski melalui wakil dari keluarganya.
Orang Betawi memahami konsep bahwa al-wa’du dainun (janji adalah hutang). Jika orang mati masih memiliki utang maka arwah atau rohnya masih belum bisa masuk ke alam barzah. Itulah mengapa orang Betawi sangat memperhatikan utangnya. Jika utang belum dibayar, bagaimana mungkian ia dapat menuai hasil ibadah dan amal shaleh yang selama hidupnya senantiasa dilakukannya dengan benar.
Demikian saat menunaikan nazar atau kaulan, masyarakat Betawi melakukan tradisi narik ketupat lepas Kembang Topeng dan orang yang dinazari memegang ketupat. Ini diikuti dengan pembacaan doa. Setelah doa selesai dibacakan, ketupat dihentakkan dan uang diperebutkan oleh anak-anak yang telah siap di bagian muka.
Ramadani Wahyu