Senibudayabetawi.com – Roti buaya merupakan salah satu kudapan khas Betawi ikonik dengan lambang penuh makna berupa kesetiaan. Namun siapa sangka, roti hantaran pernikahan Betawi ini memiliki perkembangan yang cukup dinamis. Jauh sebelum berbentuk roti buaya, simbol roti buaya dalam pernikahan adat Betawi yaitu berupa pohon kelapa atau kayu yang dianyam berbentuk buaya.
Dalam adat Betawi, roti buaya digunakan sebagai hantaran pernikahan oleh pengantin laki-laki untuk kepada pengantin wanita. Roti buaya ini sengaja dibuat sepasang, dengan buaya betina berbentuk lebih kecil daripada buaya jantan.
Roti buaya menempati posisi terpenting, bahkan bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup semati.
Tak hanya itu, dengan membawa roti buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan bagi si calon pengantin lelaki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi positif pada binatang buaya tersebut.
Adapun buaya adalah hewan panjang umur dan paling setia kepada pasangannya. Itu artinya, buaya hanya kawin sekali seumur hidup. Itulah kenapa orang Betawi menjadikannya sebagai lambang kesetiaan dalam rumah tangga.
Selain itu buaya termasuk hewan perkasa dan hidup di dua alam. Ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan mampu bertahan hidup di mana saja.
Dalam sejarah dan perkembangannya, penyimbolan pada roti buaya yang diberikan oleh masyarakat Betawi mengalami perubahan bentuk. Dinamika perubahannya tampak jelas tepatnya sekitar abad ke-17 hingga akhir abad ke 18 di mana masyarakat Betawi menggunakan pohon kelapa atau kayu.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan orang Betawi tempo dulu mengukir kayu atau pohon kelapa tersebut menjadi buaya dan digunakan sebagai simbol hantaran pernikahan Betawi.
“Jaman dulu itu kalau tidak dianyam itu dibikin dari katu, diukir berbentuk buaya sepasang laki-perempuan,” kata budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.
Beralih ke Roti Buaya
Demikian tradisi ini berjalan hingga seiring masa kolonial Belanda, sekitar awal abad ke 19 dan 20 mulai bertumbuhlah perusahaan-perusahaan roti. Saat ini pula, munculah roti buaya. Sepasang simbol ini melambangkan keberlangsungan hidup dan simbol dari menjaga mata air. “Itu bermula dari ide bagaimana caranya lebih praktis, estetik dengan bentuk roti. Bukan lagi kayu,” ujar dia.
Menariknya, awalnya roti buaya sama sekali tak memiliki cita rasa tertentu alias tawar. Yahya menyebut, roti buaya ini juga tak untuk dimakan, tapi hanya dipajang di depan atau di atas lemari hingga habis dimakan oleh binatang. Tujuan dari pemajangan roti buaya ini yakni sebagai pemberitahuan bahwa salah satu anggota keluarga baru saja melaksanakan pernikahan.
Kondisi ini berlangsung pada pertengahan abad ke-20 sebelum akhirnya pada akhir abad ke 20 muncul kelompok-kelompok yang merasa bahwa keberadaan awal roti buaya hanya mubadzir. Alhasil, muncullah inovasi roti buaya yang diberi cita rasa manis. Ini bertujuan agar roti buaya dapat dikonsumsi dan dibagi-bagikan pada keluarga dan sanak saudara.
Roti buaya hari-hari ini sudah mengikuti arus perkembangan zaman yang semakin modern. Jika tempo dahulu hanya tawar, kini sudah memiliki beragam rasa dan warna dan relatif lebih menarik. Demikian jika dahulu hanya sebagai pajangan, tapi sekarang kerap kali dibagi-bagikan terutama pada yang masih single.
Ramadani Wahyu
[…] dan motif batik Betawi di kancah Internasional terus dilakukan. Tak terkecuali batik Gobang khas Betawi dalam Fête de l’Archipel (Festival of The Archipelago) yang berlangsung pada 29 September–5 […]