Senibudayabetawi.com – Keberadaan karya sastra, baik tulis maupun lisan Betawi tak terlepas dari kontribusi aktif para sastrawan Betawi. Mereka aktif menerbitkan karya-karyanya bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Sastrawan Betawi sebelum merdeka sebenarnya tidaklah terlalu banyak. Bisa dikatakan pula bahwa eksistensi mereka khususnya yang menjadi syahibul hikayat atau tukang cerita yang kebanyakan memiliki pendidikan tak terlalu jelas.
Artinya, apakah mereka itu memperoleh pendidikan Belanda, pesantren atau madrasah.
Tak dijelaskan pula sumber keahlian mereka sebagai tukang cerita, apakah dari belajar dari guru atau belajar sendiri (otodidak). Itulah kenapa pendidikan tukang cerita atau syahibul hikayat kurang jelas asal usulnya.
Dalam Ragam Budaya Betawi Provinsi DKI Jakarta Penyalin atau penulis naskah terkenal Muhammad Bakir bin Sofyan bin Usman bin Fadli misalnya hanya diketahui tempat tinggalnya di Kampung Pecenongan, Langgar Tinggi. Pun sekolahnya tak begitu jelas.
Tapi jika melihat naskah-naskahnya menggunakan huruf Jawi maka diperkirakan Muhammad Bakir pandai baca tulis Arab dan pandai pula dalam baca-tulis naskah-naskah Melayu.
Besar kemungkinan kemahirannya menulis ia peroleh dari belajar secara turun temurun dari orang tuanya.
Dari naskah-naskah yang ia tulis lalu disewakan dengan tarif 10 sen per hari per satu naskah. Secara sadar, Muhammad Bakir memanfaatkan keahliannya dalam menyalin atau menulis naskah untuk memperoleh nafkah.
Selanjutnya setelah zaman Muhammad Bakir, tak begitu jelas keberadaan sastrawan Betawi berikutnya. Namun, jika melihat munculnya surat-surat kabar Betawi saat itu, mulai dari terbitnya Soerat Chabar Betawie tahun 1858, Bintang Betawi tahun 1900 dan surat kabar Taman Sari tahun 1904, mestinya turut bermunculan pula sastrawan-sastrawan Betawi lainnya.
Penulis yang kerap menggunakan nama samara seperti Oom Piet yang mengasuh rubrik “Omong-Omong Hari Senen” dalam surat kabar Taman Sari yang terbit 13 Januari 1904, tak diketahui lebih lanjut soal jati dirinya.
Sastrawan Betawi Lain
Beberapa sastrawan Betawi lainnya yakni Kwee Keng Beng, Betawi keturunan Tionghoa yang lahir di Jakarta, 16 November 1900 yang tamat belajar di HCS, sekolah menengah di Jakarta. Ia melanjutkan ke HKS, sekolah guru di Jakarta.
Sejak muda, ia telah menjadi wartawan dan pengarang. Sebagai pengarang, kadang kala ia menggunakan nama samaran Anak Djakarta atau Garem. Kwee Kek Beng meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 1975.
Selain Kwee Keng Beng, ada pula sastrawan keturunan yang banyak mengangkat soal kebetawian yakni Tio Is Soei. Sayangnya, identitasnya tak diketahui secara jelas.
Pada tahun 1930-an, Aman Dt. Modjoindo menulis buku berbahasa Betawi, berjudul Si Doel Anak Betawi.
Selain Kwee Kek Beng, Tio Ie Soei dan Aman Dt. Modjoindo, dan satu lagi sastrawan sebelum merdeka yang terkenal yakni Tjali Robinson
Ramadani Wahyu