Senibudayabetawi.com – Keterbatasan ekonomi pada masyarakat Betawi pada zaman kolonialisme tak membuat masyarakat Betawi pasrah terhadap cita rasa makanan. Justru, keadaan ini membuat mereka semakin kreatif memanfaatkan bahan menjadi kuliner yang lezat. Salah satunya soto tangkar dengan memanfaatkan bagian tulang iga dan jeroan.
Sebagai hidangan khas Betawi yang tak terlepas dari kuliner Indonesia, soto tangkar memiliki sejarahnya tersendiri. Keberadaan hidangan ini terinspirasi dari kondisi sosial ekonomi masyarakat Betawi di bawah kekuasaan penjajahan Belanda.
Para tuan Belanda kerap kali menggelar pesta dengan sajian mewah berbahan daging sapi. Nah, jika bagian-bagian utama berupa daging sapi telah diambil maka bagian lainnya tersisa. Misalnya, mulai dari tulang iga (tangkar), kepala, hingga jeroan sapi yang diberikan pada masyarakat pribumi.
Berbekal kreativitas memadukan berbagai bumbu masakan, masyarakat khususnya orang Betawi menjadikan bagian-bagian terbuang tersebut menjadi olahan lezat dan bercita rasa sedap. Salah satunya soto tangkar.
Jejak Soto Tangkar
Soto tangkar bukan hanya sekadar hidangan. Akan tetapi juga refleksi dari percampuran budaya yang kaya di Betawi. Sejarawan kuliner, Fadly Rahman, menjelaskan bahwa soto tangkar mengalami percampuran budaya dari berbagai bangsa yang pernah singgah di Betawi, seperti Tionghoa, India dan Arab.
Pengaruh India terlihat dari penggunaan minyak samin yang memberikan aroma dan rasa yang khas pada kuah soto. Selain itu pengaruh Arab terlihat dari penggunaan bumbu khas Arab yang memberikan pengaruh rasa soto tangkar.
Denys Lombard yang dijabarkan oleh Dr. Lono Simatupang (antropolog UGM) menyebut bahwa soto berasal dari makanan Cina dalam dialek Hokkian: Cau do (Jao To/Chau Tu 草肚 atau rerumputan’jeroan 肚/jeroan berempah). Dan kali pertama populer di wilayah Semarang sekitar abad XIX.
Sementara itu, Aji “Chen” Bromokusumo (2013: 72-73), merujuk pada Russel Jones dalam Loanwords in IndonesianMalay (Jakarta KITLV-YOI, 2008: 295b), memilih kata shao du (Sao Tu 烧肚) yang artinya ‘memasak jeroan’.
Asal kata soto ini mungkin bukan yakni masakan berbahan dasar utama perut binatang kaya akan kaldu berempah yang sangat harum. Namun, bisa jadi pula bahwa sebutan ‘soto’ merujuk pada penyebutan masakan berlimpah air kaldu dan rempah ini di mata pelanggan utamanya−kaum peranakan.
Dalam Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa soto Betawi dan soto Sulung/ Madura terlihat lebih dekat dengan bumbu India dibanding dengan soto kerbau Kudus/ Grombyang. Adapun soto Kudus/ Grombyang sama sekali tak memakai kapulaga dan pekak. Sementara soto Betawi, Madura menghilangkan daun kare dari bumbunya.
Ramadani Wahyu