Senibudayabetawi.com – Hari Maritim Nasional yang diperingati setiap 23 September menjadi momentum untuk mengapresiasi peran penting warisan laut dalam masyarakat Betawi. Bagi mereka, khususnya Betawi pesisir, laut bukan hanya sumber mata pencaharian, tapi bagian dari integral budaya, tradisi yang merefleksikan identitas mereka.
Sejarah Jakarta tak terlepas dari awal mulanya sebagai pesisir yang bernama Kalapa (Kota Bandar). Konon penamaan Kapala merujuk pada sebuah pelabuhan kuno di muara Sungai Ciliwung, lokasi yang strategis untuk perdagangan dan pertukaran budaya.
Terletak di pesisir utara Jawa, membuat kawasan Kalapa menjadi titik pertemuan jalur perdagangan antara wilayah barat dan timur Nusantara. Ya, sejak abad ke-4 Masehi, Kalapa telah menjadi pusat perdagangan baik di berbagai kerajaan besar di Nusantara maupun mancanegara.
Mulai kerajaan Tarumanegara dan Sunda hingga berlanjut pada kehadiran pedagang dari berbagai bangsa seperti Arab, India, Eropa dan Tiongkok. Kondisi ini semakin memperkaya budaya dan peradaban Kalapa.
Dalam perjalanannya, Kalapa mengalami beberapa ekspansi kekuasaan dan perubahan nama yang ditandai dengan berbagai peristiwa penting. Mulai dari penakhlukan Fatahillah pada 1527 dan mengubahnya menjadi nama Jayakarta.
Kemudian kedatangan kolonialisme Belanda pada abad ke-7 yang mendirikan koloni dagang mengubah nama wilayah ini menjadi Batavia. Hingga akhirnya perubahan nama dari Batavia ke Jakarta diikuti dengan perkembangan pusat pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda dan ditetapkan menjadi ibu kota.
Betawi, sebagai salah satu suku asli di Jakarta, telah tumbuh dan berkembang di pesisir utara Pulau Jawa. Letak geografis yang strategis ini menjadikan laut sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi. Laut bukan hanya sumber mata pencaharian, hunian hingga tradisi, dan identitas mereka.
Masyarakat Betawi, terutama Betawi pesisir seperti Marunda, Sunda Kelapa, Dadap dan Kepulauan Seribu tempo dulu menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Rata-rata mereka sebagai pelaut dan pedagang bahan laut dan berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya.
Rumah Panggung
Kondisi pesisir juga menginspirasi ciri khas rumah adat masyarakat Betawi peisisr yang umumnya berbentuk panggung atau rumah panggung. Kondisi ini cukup berbeda dengan masyarakat Betawi Tengah yang umumnya rumahnya tidak berpanggung. Hunian berkolong tinggi pada rumah panggung bertujuan untuk mengantisipasi air laut pasang sehingga air laut tidak menjangkau lantai rumah.
Nah, menariknya, kolong panggung rumah khususnya di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan karena kolong selalu digenangi air laut. Meski demikian, rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis, yakni bagian tanah di kolong bisa berfungsi sebagai resapan air.
Upacara Nyadran Sedekah Laut
Pemaknaan tradisi Nyadran khususnya bagi masyarakat Betawi pesisir cukup berbeda dengan tradisi Nyadran pada umumnya. Jika selama ini tradisi Nyadran dikenal sebagai ritual tradisi mensucikan diri menyambut datangnya bulan Ramadan, orang Betawi pesisir memaknai tradisi ini sebagai sedekah laut.
Dalam Dinas Kebudayaan Jakarta, upacara ritual sedekah laut ini diadakan setelah musim barat berakhir dan nelayan mulai mencari ikan kembali. Konon, muasal tradisi ini dari penduduk Kerajaan Salakanagara, khususnya di Pesalo, yang wilayahnya diperkirakan saat ini berada di pesisir Jakarta seperti di Kampung Marunda dan Kali Blencong, Cilincing, Jakarta Utara
Penduduk dalam upacara ini menyembelih kerbau kemudian kepalanya dihanyutkan di laut sebagai sedekah. Tak hanya itu, mereka juga menyertakan hasil bumi dan miniatur perahu. Para nelayan dan penduduk juga menyantap makanan yang sudah dibawa sebagai bentuk rasa syukur masih diberi rejeki.
Ramadani Wahyu