Holi-nya Jakarta: Mandi-Mandi, Tradisi Kampung Tugu yang Penuh Makna

Holi-nya Jakarta: Mandi-Mandi, Tradisi Kampung Tugu yang Penuh Makna

Senibudayabetawi.com – Di kampung Tugu, Jakarta Utara yang lekat dengan warisan budaya Portugis, setiap tahunnya menggelar tradisi Mandi-Mandi, sebuah perayaan terkait warna yang mengingatkan kita pada festival Holi di India.

Sama seperti Festival Holi di India yang melambangkan kemenangan kebaikan atas kejahatan dan dimulainya musim semi, Mandi-Mandi juga menjadi momen untuk membersihkan diri dari segala hal negatif dan menyambut tahun baru dengan semangat baru. Dalam tradisi ini, warga Kampung Tugu saling mencorat-coret wajah dengan bedak putih, sebagai simbol penyucian diri dan semangat persaudaraan.

Sudah Eksis Sejak 1930

Sebagai bagian dari budaya orang Kampung Tugu, konon tradisi yang sudah ada sejak 1930. Ini ditandai dengan masih adanya keturunan Mardijkers yang mendiami Kampung Tugu. 

Awalnya tradisi ini dilakukan secara tertutup karena ditakutkan berkurangnya nilai dan makna sakralitas di dalamnya. Namun, pada tahun 1990, siapapun diperbolehkan berpartisipasi dan menyaksikan tradisi ini. Akhirnya pada 2019 tradisi Mandi-Mandi dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. 

Tradisi yang dilakukan setiap Minggu pertama bulan Januari ini sekilas mirip dengan Festival Holi yang ada di India saat penyambutan musim semi. Jika Festival Holi melambangkan makna kemenangan kebaikan di atas kejahatan maka tradisi Mandi-Mandi justru dimaknai untuk menghapus dosa-dosa, saling memaafkan dan pembersihan jiwa raga. 

Seperti diketahui bahwa tradisi Mandi-Mandi akrab dengan penggunaan bedak untuk ditaburkan ke wajah peserta. Jika bubuk warna-warni pada Festival Holi menggunakan bahan alami seperti kagu cendana, pohon koral, buah bit dan tanaman indigofera maka tradisi Mandi-Mandi hanya menggunakan bedak putih.

Adapun istilah Mandi-Mandi berasal dari bahasa Melayu ‘mandi’ artinya membersihkan diri. Pada perayaan pesta Mandi-mandi, pelaksanaan mandi di sini tidak diterjemahkan secara harfiah sebagai mandi menggunakan air, melainkan dengan mencorengkan bedak berwarna putih, sebagai simbol kesucian dan kebersihan hati. Prosesi saling mencorengkan bedak ke wajah, diinisiasi oleh para tetua, kemudian diikuti oleh seluruh peserta yang hadir, diiringi dengan alunan musik keroncong.

Muasal Kaum Mardjikners 

Keberadaan orang Tugu di Jakarta tak dapat dilepaskan dari sejarah Bangsa Portugis ke Nusantara. Mereka datang mulai tahun 1510-1511 tepat saat Alfonso de Albuquerque menakhlukkan Goa dan Malaka. Sementara di Sunda Kelapa, kedatangan Bangsa Portugis diinisiasi oleh Tome Pires (1513) yang mencari rempah-rempah antara Malaka dan Maluku.

Keberadaan Belanda pada 1959 juga turut memengaruhi keberadaan Portugis ke Indonesia. Kekuatan Portugis dalam kegiatan perdagangan rempah-rempah dan penyebaran agama Katholik mulai melemah. Alhasil, orang Portugis yang dikalahkan Belanda dibawa ke Batavia untuk dijadikan tawanan perang. Mereka inilah yang kemudian menjadi nenek moyang dari identitas Orang Tugu Jakarta yang ada pada saat ini.

Nasib Tawanan di Batavia

Mengutip Jakarta A History (1987) yang ditulis oleh Susan Abeyasekere, di Batavia, tawanan perang Portugis ini diperlakukan seperti halnya budak dan pekerja. Bahkan, status sosial mereka lebih rendah dibanding orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Mereka bukanlah Portugis asli, tapi telah menjadi etnis campuran antara Portugis dengan orang-orang Coromandel, Benggali, serta Maluku.

Untuk mempertahankan hidup, mereka tinggal di luar benteng utama Batavia yang ditempati oleh orang Belanda. Kali pertama, mereka mendirikan gereja di tepi Jembatan Kali Besar gereja Portugis yang dikenal sebagai nama Gereja Sion. Konon, gereja ini merupakan gereja reformasi Protestan meski tawanan Portugis ini beragama Katholik.

Namun, pada 1661, dalam Krontjong Toegoe (2011), karya Van Ganap, atas desakan Gereja Portugis di Batavia, para tawanan ini dibebaskan—disebut sebagai kelompok merdequas atau mardijkers. Sebagai tebusan, kelompok ini diwajibkan untuk berpindah keyakinan menjadi Protestan.

Sejak saat itu, mereka tak lagi berstatus sebagai mardijkers tapi De Mardijkers dan menghilangkan identitas Portugis mereka. Itu artinya, pada 1642 dan 1815 mereka terdaftar sebagai masyarakat Batavia yang memiliki status sosial sama dengan etnis pribumi.

Para famili mardijkers ini terpencar dan memilih tempat tinggalnya masing-masing. Ada yang berpindah ke tempat, disebut dengan Kampung Tugu dan ada yang memilih di Batavia. Mereka yang tinggal di Kampung Tugu memiliki ikatan sosial yang lebih besar. 

Ramadani Wahyu 

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.