Senibudayabetawi.com – Masyarakat Betawi Gedong tempo dulu memiliki tradisi tersendiri dalam perayaan pernikahan adat Betawi, khususnya dalam tradisi piare calon pengantin.
Kondisi zaman terdahulu dalam hal pernikahan Betawi memang terbilang penting untuk dilaksanakan, lengkap dengan tradisi yang mengiringinya. Tak jarang orang tua sang calon mempelai mempersiapkan segala sesuatu hal terbaik dalam setiap tahapannya.
Sebelum menggelar pernikahan Betawi, terdapat salah satu tahapan penting yang harus diikuti calon pengantin perempuan yaitu tradisi piare. Dalam tradisi masa piare ini calon pengantin perempuan dipelihara oleh tukang piara atau juru rias.
Dalam Makna Simbolik Pernikahan Betawi Gedong, tujuan piare pengantin untuk membantu mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon pengantin perempuan. Nah, berikut ini adalah beberapa tradisi yang dilakukan saat piare dalam masyarakat Betawi Gedong.
Puasa Mutih
Puasa ini dijalankan calon pengantin perempuan saat menjelang hari pernikahan, tepatnya dalam tahapan piare calon pengantin. Tujuan puasa mutih dianggap sebagai pembersih pikiran sehingga mampu mengontrol semua emosi negatif yang muncul.
Berbeda dengan puasa lainnya yang dilakukan seharian penuh tanpa makan dan minum, dalam puasa mutih calon pengantin masih bebas makan dan minum. Namun tetap dibatasi hanya dengan makanan-makanan tertentu saja antara lain air putih, kentang, nasi putih dan lainnya serta tidak memakan makanan yang mengandung garam.
Masyarakat Betawi mengganggap pantangan memakan makanan ini berdampak dalam pelaksanaan pernikahan. Seperti pantangan memakan makanan yang mengandung garam bertujuan agar calon pengantin perempuan tidak merasa gerah meski cuaca sepanas apapun dan tidak akan mengeluarkan banyak keringat.
Uniknya, puasa mutih ini nyatanya tidak dilakukan oleh calon pengantin perempuan saja. Tapi juga dilakukan perias calon pengantin perempuan. Tujuan perias melaksanakan puasa mutih ini yaitu sama halnya untuk menahan emosi serta agar tidak tegang.
Tidak Mandi dan Berganti Pakaian
Selama masa tahapan di piare calon pengantin perempuan tidak diperkenankan untuk mandi serta calon pengantin perempuan diwajibkan untuk mengenakan pakaian yang sudah jelek, jadi ia tidak boleh berganti pakaian kecuali pakaian dalam hingga acara pernikahan.
Dalam tahapan saat di piare ini kegiatan calon penganten perempuan hanya melakukan perawatan dikamar seperti luluran dan lainnya tidak boleh keluar rumah atau melakukan sesuatu hal yang berat.
Masyarakat beranggapan ika calon penganten perempuan mandi dan berganti pakaian, saat pelaksanaan pernikahan akan tidak berdampak apa-apa atau tidak akan panglingin. Disini jelas bagaimana masyarakat Betawi Gedong memaknai proses dipiare utamanya dalam hal mandi dan berganti pakaian.
Melempar Pakaian Dalam ke Atas Genting
Setelah selesainya tahap piare dan menjelang pelaksanaan pernikahan, terdapat tahapan dimana pihak keluarga melempar pakaian dalam yang digunakan selama tahapan di piare keatas atap atau genting di tempat kediaman calon pengantin perempuan.
Tujuannya agar saat pelaksanaan hari pernikahan tidak turun hujan sehingga tamu dapat datang dan ikut meramaikan pesta resepsi pernikahan. Terlebih dalam pelaksanaan pesta pernikahan yang diadakan oleh masyarakat Betawi sangat meriah.
Dikhawatirkan dengan turunnya hujan dapat mengganggu proses pelaksanaan tahapan kegiatan tersebut serta banyak kendala yang harus ditanggung jika terjadi hujan.
Masyarakat Betawi Gedong semakin meyakini hal tersebut setelah ada beberapa pernikahan yang dilangsungkan dan turun hujan. Padahal berdasarkan perkiraan cuaca hari itu tidak turun hujan dan cerah. Pada saat itu nyatanya calon pengantin perempuan tidak mau melemparkan baju dalam ke atas genting.
Ramadani Wahyu
[…] – Banyak anggapan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Betawi tempo dulu rendah, bahkan tak berpendidikan. Lekatnya jejak Islam di Betawi yang sangat kontras […]