Begini Perubahan Prosesi dan Tradisi dalam Upacara Pernikahan Betawi

Begini Perubahan Prosesi dan Tradisi dalam Upacara Pernikahan Betawi

Senibudayabetawi.com – Terdapat perubahan prosesi dan tradisi seserahan makanan dalam upacara pernikahan Betawi. Perbedaan kontekstasi hingga kondisi faktor eksternal memicu perubahan yang terjadi sekitar awal abad ke-19 hingga abad ke-20 ini.

Dalam Perubahan Makna dan Simbol dalam Tradisi Seserahan Makanan dalam Upacara Pernikahan Betawi, perubahan ini terlihat dalam prosesi ngedelengin dan mak comblang, tradisi seserahan ikan bandeng dan roti buaya.

Tradisi pernikahan Betawi dalam prosesi “ngedelengin” yang merupakan proses tahap awal dalam upacara pernikahan adat Betawi yang lambat laun mengalami proses perubahan.

Sedianya, tradisi ini dilakukan sekitar abad 20-an dengan mengirimkan mak comblang sebagai perantara dalam memperkenalkan dan menjodohkan calon mempelai pria dan calon mempelai perempuan. Akan tetapi saat ini mak comblang yang menjadi perantara dalam proses ngedelengin sudah sangat jarang ditemukan.

Proses ngedelengin (perkenalan) selanjutnya tak menggunakan peran mak comblang sebagai perantara, tapi proses pengenalan antara keluarga lelaki pada keluarga perempuan.

Perubahan ini tumbuh seiring dengan fleksibilitas keaktifan pihak lelaki dan perempuan dalam hubungan mereka yang disebut dengan pacaran. Ini tentu berbeda dengan adat masyarakat Betawi tempo dulu yang tak mengenal istilah pacaran dan cenderung menjaga nilai-nilai keagamaan.

Tradisi Seserahan Ikan Bandeng

Selain itu, pergeseran makna tradisi juga terdapat pada makna seserahan makanan dalam upacara pernikahan Betawi. Saat ngedelengin pada tempo dulu tak lepas dari adanya tradisi seserahan ikan bandeng, yang juga menjadi sebuah simbol dalam upacara pernikahan Betawi.

Di daerah tertentu terdapat kebiasaan unik yaitu menggantungkan sepasang ikan bandeng di depan rumah gadis, bila si gadis ada yang naksir. Tugas menggantungkan ikan bandeng ini dilakukan oleh seorang pemuda yang menaksir atau mak comblang.

Orang tua atau keluarga yang mendapatkan gantungan sepasang ikan bandeng ini bersikap memaklumi bahwa anak perawannya mulai ada yang mendekati. Sebagaimana orang tua Betawi pada umumnya, orang tua si gadis memberi peringatan dan nasehat agar anak gadisnya berhati-hati dan membatasi pergaulannya.

Orang tua si gadis bahkan memingit anak gadisnya. Namun, bukan seperti halnya membatasi pergaulan si gadis dengan teman-temannya. Akan tetapi lebih kepada memberikan pendidikan pada anak perawannya berupa akhlak, sopan santun hingga berlatih masak.

Jika pendidikan ini berhasil maka keluarga si gadis akan lega saat melepasnya. Sayangnya, tradisi memasangkan ikan bandeng ini hanya berlaku di beberapa masa dan kini mulai jarang ditemui.

Perubahan Makna Simbolik pada Seserahan Roti Buaya dalam Upacara Pernikahan Betawi

Tempo dulu, sekitar abad ke-17 hingga akhir abad ke-18, roti buaya sebagai bagian dari seserahan pernikahan Betawi dibentuk unik. Simbolik buaya berasal dari pohon kelapa atau kayu yang dianyam dan diukir membentuk buaya dan dijadikan hantaran.

Selanjutnya pada awal abad ke-19 hingga abad ke-20, mengalami perubahan yang dignifikan, yakni simbol buaya tersebut diubah menjadi roti berbentuk buaya. Peralihan ini seiring dengan mulai merebaknya pertumbuhan perusahaan roti pada awal abad ke-20.

Momen ini dimanfaatkan oleh masyarakat Betawi untuk membentuk roti menyerupai buaya. Roti buaya pada masa ini bercita rasa tawar yang hanya dipajang atau didiamkan. Adapun tujuannya untuk memberitahukan bahwa di dalam rumah tesebut ada salah satu anggota keluarganya yang baru saja melaksanakan pernikahan.

Seiring perkembangannya, pada akhir abad ke-20 terjadi perubahan lagi. Roti buaya yang sedianya bercita rasa tawar dan hambar dan berfungsi sebagai simbol pernikahan diubah menjadi roti buaya bercita rasa manis. Rasa manis ini justru meningkatkan cita rasa roti buaya sehingga banyak digemari.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.