Senibudayabetawi.com – Jauh sebelum maraknya penggunaan plastik, masyarakat Betawi tempo dulu memiliki cara tersendiri untuk membungkus buah-buahan. Bongsang, begitulah mereka menyebut keranjang anyaman bambu yang ramah lingkungan ini.
Di Betawi sendiri, penggunaan bongsang sudah sangat jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, keberadaan wadah tradisional khas Betawi ini justru dirayakan dengan menggelar Festival Bongsang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Acara rutin tiap tahun ini tidak sekadar mengembalikan semangat tradisi kemasan ramah lingkungan khas Betawi. Akan tetapi juga meningkatkan gairah para pegiat UMKM dan melestarikan budaya Betawi. Selain itu, penggunaan bongsang juga kerap digalakkan untuk mewadahi daging kambing/ sapi saat peringatan Hari Raya Idul Adha berlangsung.
Nah sobat senibudayabetawi.com, bongsang ternyata tidak hanya ada di Betawi lho, tapi ada di Tataran Sunda. Bahkan, di beberapa daerah seperti Sumedang, penggunaan kemasan anyaman bambu ini masih eksis untuk membungkus tahu Sumedang. Bongsang juga biasa digunakan untuk mewadahi peuyeum.
Muasal Bongsang
Kemasan tradisional ramah lingkungan khas Betawi bernama bongsang populer digunakan terutama pada 1980 hingga 1990 sebelum akhirnya tergeser oleh penggunaan kantong plastik.
Istilah bongsang pun tak terlepas dari sejarah Pasar Minggu, kawasan yang lekat sebagai sentra buah-buahan. Konon, tempo dulu bongsang digunakna untuk mengangkut buah-buahan yang dibeli dari Pasar Minggu.
Eksistensi bongsang di Jawa Barat juga tak lepas dari kegunaannya untuk membawa kue-kue tradisional, tahu sumedang hingga peuyeum. Bongsang dibuat dari tali bambu (terutama berusia 2-3 bulan) yang lebih lentur dan mudah dibentuk. Ciri khas bongsang yaitu terletak [ada anyamannya yang renggang dan lebih besar. Adapun ukuran bongsang bermacam-macam seperti 75 sentimeter, 80 sentimeter, 1 meter dan 1,2 meter.
Ramadani Wahyu
