Senibudayabetawi.com – Tidak dapat dibayangkan bila perkembangan dakwah Islam tanpa masjid. Sebagai pusat keagamaan dan budaya, masjid memiliki peran besar, termasuk masjid-masjid di Betawi. Namun, di balik itu semua ternyata setiap kelompok etnik di Betawi berupaya memiliki masjid sendiri.
Sejak zaman Rasulullah SAW, masjid dengan segala aktivitasnya menyatu dengan realitas kehidupan. Masjid tak sekadar untuk melakukan kegiatan ibadah, tapi juga memiliki banyak fungsi termasuk dalam keagamaan, sosial, politik, ekonomi, administrasi hingga budaya. Tak heran jika masjid menjadi peninggalan sejarah di masa lalu.
Terlepas pertumbuhan masjid di Betawi yang seiring proses Islamisasinya, pembangunan masjid tak terlepas dari kontribusi setiap etnik yang ada di Betawi.
Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa sekitar abad ke-2 sudah ada masyarakat yang menghuni di daerah sungai Ciliwung yang disebut sebagai Proto Melayu. Berawal dari kawasan ini juga muasal perkembangan kota Batavia yang kemudian memberi dampak etnis yang ada di dalamnya.
Sebagai kota perdagangan, Betawi juga banyak disinggahi kapal saudagar dari berbagai Nusantara dan mancanegara. Seiring berjalannya waktu, Betawi memiliki keragaman etnik yang termanifestasi dari ragam budayanya, termasuk masjid yang dibangun berbagai etnis.
Masjid Angke
Sebagaimana tertulis dalam kaligrafi di ambang pintu sebelah timur, masjid Angke dibangun pada 1761 M (tepatnya 26 Sya’ban 1174 H). Mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah permukiman –pada saat itu—suku Bali di Batavia.
Sejarawan Denys Lombard dan Adolf Heuken menganggap bahwa orang-orang Bali itulah yang membangun masjid Angke tersebut. Ini dibuktikan dari arsitektur masjid yang untuk sebagiannya berciri budaya Bali.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1804, seorang kapitan (pemimpin) suku Bali bernama Mohammad Paridan Tousalette Babandan telah menyumbangkan perolehannya dari sewa dua puluh lima rumah petak miliknya di daerah Patuakan (kini kawasan Jl Perniagaan) untuk kas Masjid Angke.
Orang-orang Bali telah diketahui lama sebagai bagian yang cukup banyak jumlahnya dari penduduk Batavia, bahkan mendominasi pada awal abad-19.
Pada mulanya kebanyakan orang Bali datang sebagai budak belian untuk dipekerjakan di tanah-tanah pertanian sekitar Batavia atau mengurus rumah orang-orang Belanda. Selanjutnya, orang-orang Bali datang atas kemauannya sendiri sebagai orang bebas. Salah satu tokoh yang terkenal yaitu Gusti Ktut Badulu, kapitan suku Bali yang pada 1709 datang dan tinggal di kampung yang belakangan dikenal sebagai Kampung Gusti, tidak jauh dari Angke.
Namun demikian, ada pula yang meyakini bahwa Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita Tionghoa bernama Tan Nio, dengan arsiteknya Syaikh Liong Tan.
Masjid Pekojan
Salah satu masjid tertua di Kota Jakarta ini terletak di Jl. Pekojan No 79, Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Masjid An-Nawier, Masjid An-Nawir atau dikenal sebagai Masjid Pekojan ini dibangun tahun 1760 oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus.
Menariknya, masjid ini dikenal sebagai simbol peradaban Arab di Jakarta. Masjid Pekojan berdiri di atas lahan yang diyakini diwakafkan oleh Syarifah Baba Kecil, keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Hadramaut. Syarifah Baba Kecil kini dimakamkan di bagian depan masjid.
Masjid Pekojan juga merupakan salah satu masjid tempat mengajar Habib Usman bin Yahya, pengarang sekitar 50 buku (kitab kuning) berbahasa Melayu Arab gundul. Ia pernah diangkat sebagai mufti Betawi pada 1862 (1279 H). Salah seorang muridnya adalah Habib Ali Alhabsji (meninggal 1968) yang mendirikan Majelis Taklim Kwitang.
Masjid Tambora
Masjid Jami Tambora merupakan salah satu masjid tua dan bersejarah di wilayah DKI Jakarta. Nama Tambora pada masjid ini merujuk pada nama Gunung Tambora di Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Timur yang juga daerah asal pendiri masjid ini.
Pembangunan masjid ini tak lepas dari perjuangan dua tokoh agama, yakni KH Moestoyib dan Ki Daeng. Dua tokoh ini berasal dari Ujung Padang dan lama tinggal di Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyebarkan Agama Islam.
Setelah masjid berdiri, pergerakan KH Moestojib dan Ki Daeng masih juga diawasi oleh kompeni Belanda. Bahkan, tak jarang mereka diawasi. Kali Krukut—dulunya masih lebar turut menjadi saksi patroli yang kerap dilakukan oleh pihak kompeni.
Sebagai bentuk penghormatan, dua makam tokoh KH Moestojib dan Ki Daeng diletakkan di depan Masjid Tambora. Dua pendiri masjid ini meninggal sekitar 1836.
Masjid Kebon Jeruk
Didirikan di atas sebidang tanah milik Tuan Tschoa atau Kapitan Tamien Dossol Seng yang merupakan kepala kaum muslim Tionghoa pada tahun 1780-1797.
Kendati demikian, tak banyak jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Tuan Tschoa yang dalam dialek hokkian disebut dengan kata Cai itu. Hanya sebuah batu nisan yang bertuliskan “Xian bi Cai men zhi mu” yang berarti “makam wanita keluarga Cai” yang ada di halaman belakang masjid tersebut.
Batu nisan bertuliskan mandarin itu menjadi satu-satunya saksi bahwa masjid yang kini telah berubah menjadi seluas 3000 meter persegi itu dulunya didiikan oleh orang Tionghoa.
Sebelum diperluas, masjid ini didirikan di tengah sebuah kebun jeruk. Adapun halaman belakang masjid identic dengan kebun yang dipenuhi dengan pohon jeruk sehingga dinamakan Masjid Jami Kebon Jeruk.
Renovasi dilakukan secara bertahap seiring semakin banyak Jemaah yang beribadah di tempat itu. Hingga 1974, kelompok umat Islam yang dikenal jamaah Tabligh memilih masjid itu sebagai tempat berkumpul kelompok mereka.
Ramadani Wahyu